Translate

Kamis, November 17, 2011

Ekonomi Regional dan Kinerja Spasial



Oleh: Tonny F. Kurniawan

Tujuan utama pembangunan ekonomi suatu wilayah adalah menciptakan kemakmuran masyarakat. Beberapa parameter yang biasa digunakan untuk mengukur pembangunan adalah peningkatan pendapatan, peningkatan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan masyarakat. Belajar dari kegagalan orde lama, sejak awal tahun 1970 pertumbuhan perekonomian suatu wilayah pada masa orde baru menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian Rostow, dimana kemajuan perekonomian suatu masyarakat berjalan melalui beberapa tahapan pembangunan. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I).

Menurut Rostow tahap lanjut dari perkembangan ekonomi adalah sektor industri bahan baku, industri manufaktur, hingga paling akhir pada sektor jasa. Kebanyakan para pengambil kebijakan termasuk juga kelompok ekonom dominan menelan saja teori pembangunan Rostow dengan melakukan by pass, yaitu sengaja meninggalkan pertanian dan langsung menuju sektor industri bahkan juga jasa. Sektor pertanian tidak lagi dianggap memberi kontribusi besar pada peningkatan produk nasional bruto (GNP) atau pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar pemikiran Rostow itu memang diterapkan dalam konsep pembangunan Orde Baru, terutama yang mementingkan pengadaan barang-barang konsumen lebih dari mencukupi.

Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, namun angka kemiskinan masih tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I (1969/1970-1973/1974), diharapkan Indonesia sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.

Model pertumbuhan ekonomi yang cenderung mengikuti Rostow masih dirasakan sampai sekarang. Pertumbuhan ekonomi dan kondisi ekonomi makro nasional selama lima tahun terakhir masih dimotori oleh sektor konsumsi. Namun kondisi yang demikian belum dibarengi dengan pertumbuhan sektor-sektor produktif. Berbeda halnya dengan fenomena yang berkembang di negara-negara maju, kenaikan konsumsi masyarakat senantiasa direspon oleh perusahaan-perusahaan dengan berbagai aktivitas produksi. Perbedaan fenomena tersebut disebabkan karena peran sektor industri dan investasi di dalam negeri belum berkembang signifikan.

Dalam teori ekonomi pembangunan, peran lembaga keuangan dianggap sebagai salah satu insentif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui investasi. Sehingga diperlukan peran lembaga keuangan yang dapat memberikan kredit untuk memicu tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak sosial ekonomi dari suatu usaha atau kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sehingga kredit dan konsumsi memiliki keterkaitan hubungan yang dapat menentukan produktifitas dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.

Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, perkantoran, pabrik, pertanian, pertambangan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain tidaklah asal saja atau secara acak berada di lokasi tersebut, namun menunjukkan pola, susunan, atau mekanisme yang dapat diselidiki dan dipelajari. Setiap wilayah memiliki daya dukung atau sumberdaya yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain, sehingga terjadi interaksi ekonomi lintas wilayah didasarkan atas keperluan pemenuhan kebutuhan. Perekonomian lintas wilayah akan membawa pengaruh pada pola konsumsi dan belanja rumah tangga masyarakat yang akan mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan wilayah adalah adanya keterkaitan lintas sektor, sebab setiap kegiatan di suatu sektor selalu menggunakan input dari sektor yang lain.

Kemampuan suatu wilayah mengelola sumberdaya yang dimiliki akan menentukan laju pertumbuhan ekonomi, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Otonomi daerah, dapat dianggap tantangan, tapi bisa dilihat pula sebagai peluang, karena dengan pendekatan yang berbasis daerah, berharap permasalahan pembangunan wilayah dapat didekati secara lebih riil, ada variasi potensi antar daerah. Dalam era otonomi daerah banyak pemerintah kota/kabupaten yang tidak punya pegangan dalam mengelola ekonomi daerahnya. Otonomi daerah akan cenderung disambut dengan mengeksploitasi sumberdaya alam, menjual aset daerah, memberlakukan berbagai pajak dan retribusi yang seringkali tidak rasional, yang justru menyebabkan investor enggan masuk. Tanpa ada visi tentang bagaimana mengelola kota/kabupaten sebagai unit ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah perlu menganalisis suatu wilayah atau bagian wilayah secara keseluruhan atau melihat wilayah dengan berbagai potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang akan diterapkan di wilayah tersebut.

Suatu kegiatan perekonomian di suatu wilayah akan mempunyai suatu pengaruh terhadap kegiatan lainnya, sebab kegiatan perekonomian satu dengan yang lainnya merupakan rangkaian sistemik yang saling mempengaruhi dan membutuhkan. Kegiatan ekonomi tersebut akan memiliki nilai pengganda yang tinggi apabila mampu menggerakkan semakin besar potensi daerah dalam pemenuhan kebutuhan aktivitasnya. Kebutuhan itu dapat berupa tenaga kerja, barang mentah atau barang setengah jadi, peralatan, dan lain-lain. Kegagalan melibatkan keterkaitan antar wilayah dan kegagalan menggerakkan potensi yang dimiliki suatu wilayah dalam aktivitas kegiatan perekonomian akan mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan di suatu wilayah.