Translate

Kamis, Maret 05, 2009

Indikator Tingkat Keberhasilan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP)


Indikator Tingkat Keberhasilan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di Kab. Karawang, Kab. Cirebon, dan Kab. Lampung Tengah
Tonny F. Kurniawan, Surono, Ahmad Misbah

Realisasi penyaluran Kredit Ketahanan Pangan (KKP) selama tahun ini hingga Agustus 2007 baru mencapai Rp 523,58 miliar atau sebesar 25,15 persen dari pagu sebesar Rp 2,08 triliun. Dari tingkat penyaluran KKP sebesar Rp 525,58 miliar tersebut, komoditas tebu menduduki angka terbesar yakni Rp 402,845 miliar, kemudian peternakan yang mencapai Rp 71,006 miliar dan tanaman pangan Rp 37, 712 miliar. Sementara itu secara keseluruhan dari 2001 hingga Agustus 2007 realisasi penyaluran KKP mencapai Rp4,82 triliun atau 231,68 persen dari pagu Rp2,082 triliun (Antara, 30-10-2007).

Realisasi penyaluran KKP Intensifikasi Padi (Tanaman Pangan) di Kabupaten Karawang sampai Agustus 2007 adalah Rp 34.803.164.625. Dalam KKP Intensifikasi padi tidak ada avalis atau lembaga penjamin. Kelembagaan intensifikasi padi belum sekuat atau belum terstruktur seperti pada perkebunan tebu sehingga sering terjadi permasalahan terutama saat musim panen . Pada musim panen kadang harga tidak berpihak baik pada petani sehingga bisa timbul penunggakan untuk melunasi KKP.

Dalam kenyataannya di lapangan, juga berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber bahwa yang menikmati KKP ini adalah petani padi besar yang memiliki lahan sawah yang luas. Ada indikasi juga terjadi di lapangan bahwa kelompok tani yang mengajukan kredit program KKP notabene adalah kelompok tani yang ketuanya adalah tuan tanah sedangkan anggotanya adalah penggarap atau pekerja yang mengerjakan lahan milik tuan tanah tersebut. Sehingga diindikasikan bahwa dana KKP tersebut hanya dinikmati si tuan tanah.

Komoditas tebu menduduki urutan angka terbesar dalam penyaluran karena kelembagaan di sektor perkebunan tebu cukup kuat. Kelembagaan di sektor tebu ini didukung antara lain BUMN yang memiliki pabrik gula dan perkebunan tebu seperti PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang tersebar sebagian besar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai avalis, Bank Rakyat Indonesia sebagai bank pelaksana, APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) dan koperasi petani tebu. Realisasi penyaluran KKP selama tahun ini di Kabupaten Cirebon untuk komoditas tebu yang dilakukan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 32.049.464.000, sedangkan Bank Bukopin sebesar Rp 18.176.900.000. Jadi, total dana KKP Tebu Rakyat TP 2006/2007 untuk Kabupaten Cirebon adalah Rp 50.226.364.000.

Mulai 1 Oktober 2007 suku bunga KKP Intensifikasi tebu yang sekarang berganti menjadi KKP-E oleh Pemerintah ditetapkan menjadi 13,25%. Di tingkat petani suku bunga yang sebelumnya 10% untuk intensifikasi padi turun menjadi 8%. Tetapi bunga yang digunakan dalam laporan KKP-Tebu Rakyat TP 2006/2007 Bank Rakyat Indonesia periode Oktober 2007 masih menggunakan suku bunga di tingkat petani sebesar 10% sehingga dana KKP yang harus dikembalikan petani sebesar Rp 35.109.286.000. BRI menyalurkan dana KKP kepada 4 koperasi yang sebagian besar ketua atau pimpinannya adalah pengurus teras APTRI di wilayah Pabrik Gula Sindanglaut, Pabrik Gula Karangsuwung, Pabrik Gula Tersanabaru. Keempat koperasi tersebut adalah Koperasi Sakarosa Srikadi, KUD Pelita, KUD Sari Mekar dan KUD Pusaka Bakti.

Besarnya dana KKP yang disalurkan ke koperasi – koperasi tersebut adalah sebagai berikut : Koperasi Sakarosa Srikadi di wilayah PG Sindanglaut sebesar Rp 12.315.43.000, KUD Pelita di wilayah PG Karangsuwung sebesar Rp 8.784.751.000, KUD Sari Mekar di wilayah PG Karangsuwung dan PG Tersana Baru sebesar Rp 9.384.493 dan KUD Pusaka Bakti sebesar Rp 1.564.777.000. Bank Bukopin periode Oktober 2007 menggunakan suku bunga di tingkat petani sebesar 8% sehingga dana KKP yang harus dikembalikan petani sebesar Rp 19.582.529.684. BRI menyalurkan dana KKP kepada 4 koperasi yaitu KUD Dharma Bhakti sebesar Rp 5.774.400.000, KUD Eka Mulya sebesar Rp 4.117.340.000, KUD Sri Jaya Rp 2.275.545.000 dan KUD Gandasari Rp 6.009.615.000.

Realisasi penyaluran KKP Ternak sapi di Kabupaten Lampung Tengah adalah kepada koperasi/kelompok peternak yang menjadi binaan PT GGLC dan mendapatkan rekomendasi PT GGLC. Plafon yang disalurkan adalah Rp 15.000.000 per kelompok peternak. Selama ini hanya 6 koperasi/kelompok ternak yang mampu mengakses Program KKP. Keenam koperasi/kelompok peternak tersebut adalah Brahman, Cempaka, Karangindah, Brangus, Budidaya dan Lembu sari. Sapi yang disalurkan adalah sapi yang berbobot 300 kg–330 kg dari jenis sapi Brahman Cross. Sapi tersebut dari PT GGLC.

Permasalahan yang muncul dalam penyaluran dana KKP kepada petani adalah tidak tepatnya waktu pencairannya dan pencairan yang bertahap. Seperti yang terjadi pada KKP Tebu Rakyat, banyak petani yang mengatakan bahwa dana kredit program ini sering cair tidak tepat waktu. Karena tidak tepat waktu maka banyak petani tebu ketika musim tanam atau pemeliharaan datang banyak yang kelimpungan mencari dana talangan untuk memenuh kebutuhan pembelian bibit tebu, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja pengolahan dan pemeliharaan tanaman. Dana kredit kemudian cair setelah petani tidak benar–benar membutuhkan dana yang harus segera ada. Kadang sudah tidak tepat waktu, pencairan dana KKP pun melalui beberapa tahapan.

KETEPATAN SASARAN PROGRAM KKP
Berdasarkan Usaha dan Komoditas yang Dibiayai
Menurut ketentuan pokok Kredit Ketahanan Pangan (KKP), bahwa KKP digunakan untuk membiayai: (1) petani, dalam rangka intensifikasi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar dan pengembangan budidaya tebu; (2) peternak, dalam rangka peternakan sapi potong, sapi perah, ayam buras, ayam ras dan itik, (3) petani ikan, dalam rangka budidaya ikan dan atau bersama-sama dengan budidaya peternakan ayam buras, dan (4) pengadaan pangan padi, jagung dan kedelai.

Berdasarkan hasil kajian studi kasus di tiga kabupaten dalam kegiatan Evaluasi Faktor-Faktor yang Mendorong Keberhasilan Maupun Kegagalan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP), setiap lokasi dan bank hanya bersedia membiayai satu komoditas tertentu, meskipun di lokasi tersebut juga diusahakan kegiatan pertanian lainnya yang dapat didanai berdasarkan ketentuan pokok KKP. Di Kabupaten Karawang Hanya mendanai usaha bercocok tanam padi, di Kabupaten Cirebon hanya mendanai untuk usaha budidaya tebu, dan di Kabupaten Lampung Tengah hanya membiayai usaha peternakan sapi potong, tidak mendanai usaha tani lainnya.

Berdasarkan Persyaratan Petani yang Menjadi Sasaran
Menurut ketentuan pokok Kredit Ketahanan Pangan (KKP), bahwa petani yang menjadi sasaran Program KKP: 1) Petani penggarap dan atau petani pemilik penggarap dengan luas garapan maksimal 2 (dua) Ha; dan 2) Petani berumur sekurang-kurangnya 18 tahun atau sudah menikah.

Berdasarkan hasil kajian studi kasus di tiga kabupaten dengan tiga komoditas yang berbeda dalam kegiatan Evaluasi Faktor-Faktor yang Mendorong Keberhasilan Maupun Kegagalan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP), ternyata terdapat beberapa kasus yang secara umum diketahui oleh kalangan petani tentang ketidaktepatan sasaran penerima manfaat program KKP. Untuk kasus di Kabupaten Karawang penerima program KKP kebanyakan adalah petani dengan luas lahan lebih dari 2 Ha, yang nota bene adalah para petani padi besar, sebab untuk dapat mengakses dana KKP petani-petani besarlah yang dapat memenuhi persyaratan administratif yang menjadi ketentuan BRI berupa adanya SPPT atau setifikat lahan yang diusahakan untuk menjadi agunan.

Di Kabupaten Cirebon juga terdapat kasus penerima dana KKP adalah para petani tebu besar yang memiliki lahan tebu lebih dari 2 hektar, bahkan ada petani tebu yang memiliki lahan lebih dari 50 Ha, bahkan mencapai ratusan hektar. Para petani tebu besar tersebut mensiasati nama lahan yang akan diajukan untuk memperoleh dana KKP dengan membagi menjadi beberapa nama, nama yang digunakan kebanyakan adalah para keluarga dekat, istri dan anak, bahkan menurut keterangan para petani anak yang masih dalam kandungan atau anak yang masih direncanakan sudah digunakan untuk mendaftarkan mendapatkan dana KKP. Tentunya selain dari segi luasan lahan yang menjadi sasaran juga tidak sesuai dalam hal usia yang masih di bawah umur yang ditentukan. Hal tersebut dimaklumkan oleh BRI dan dapat mendapatkan skim dana KKP karena telah mendapat rekomendasi dan jaminan dari Pabrik Gula.

Sedangkan di Lampung Tengah, KKP dari Bank Niaga diberikan secara eksklusif hanya kepada para peternak mitra PT GGLC. Petani yang telah bermitra dengan PT GGLC biasanya telah beberapa tahun bekerjasama dalam hal pembelian sapi bakalan (bibit sapi), pengadaan pakan harian sapi yang berasal dari sisa produksi serat nenas PT Great Giant Pinaple Company (GGPC) yang merupakan satu grup perusahaan dengan PT GGLC, dan dalam hal pemasaran ternak sapi. Bank Niaga tidak berkenan memberikan pinjaman dana KKP kepada peternak yang tidak mendapat rekomendasi PT GGLC.

Melihat pola dan sasaran penerima dana KKP di ketiga lokasi studi Evaluasi Faktor-Faktor yang Mendorong Keberhasilan Maupun Kegagalan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di lapangan, maka petani dan peternak yang menikmati manfaat skim kredit program KKP cenderung tetap dan hanya kecil mengalami perubahan, sehingga penerima manfaat dana KKP hanya dirasakan oleh beberapa petani tertentu.

TINGKAT PENGEMBALIAN MODAL DAN SUBSIDI BUNGA KKP
Realisasi pengembalian dana KKP Intensifikasi Padi di Kabupaten Karawang sampai Agustus 2007 sudah mencapai Rp 29.252.371.143 atau 77% dari pinjaman pokok dan bunga yang harus dilunasi. Sebanyak 108 kelompok tani belum melunasi keseluruhan dana yang dipinjam. Berdasarkan laporan BRI per Agustus 2007 sisa kredit yang masih harus dilunasi adalah Rp 8.530.847.135.

Sedangkan KKP Tebu Rakyat di Kabupaten Cirebon dan KKP Ternak Sapi di Kabupaten Lampung Tengah karena ada avalis maupun perusahaan mitra Program KKP yaitu Pagrik Gula Tersanabaru, PG Karangsuwung, PG Sindanglaut dan PT GGLC maka pengembaliannya relatif bisa dikontrol dan lancar. Untuk KKP Tebu Rakyat pengembaliannya adalah dengan pemotongan dari hasil giling tebu. Waktu giling tebu sudah terprogram dengan baik yaitu antara Mei sampai Oktober tiap tahunnya. Keuntungan yang diperoleh petani tebu tergantung pada persentase rendemen tebu milik petani tersebut. Rendemen gula pada musim giling tahun ini mengalami penurunan yaitu berkisar 6%. Jika rendemen semakin kecil maka petani akan semakin merugi. Berdasarkan wawancara dengan petani, ada perlakuan yang berbeda diberikan oleh Pabrik Gula antara TRM (Tebu Rakyat Mandiri) dengan Tebu yang mendapat kredit program KKP, rendemennya cenderung lebih besar tebu yang mendapat KKP. Begitu juga dengan KKP Ternak Sapi pengembalian pinjamannya dengan pemotongan hasil jual sapinya. Dalam KKP Ternak Sapi Potong, jika terjadi kerugian yang dialami kelompok ternak, maka pengembalian dilakukan tanggung renteng dengan pemotongan Rp 50.000 per paket.

Mulai 1 Oktober 2007 suku bunga KKP Intensifikasi Padi dan Ternak Sapi (non tebu) yang sekarang berganti menjadi KKP-E oleh Pemerintah ditetapkan menjadi 14,25%. Di tingkat petani suku bunga yang sebelumnya 8% untuk intensifikasi padi turun menjadi 7%. Sedangkan suku bunga KKP tebu yang sekarang ditetapkan menjadi 13,25%. Di tingkat petani suku bunga yang sebelumnya 10% untuk tebu turun menjadi 8%, maka subsidi bunga yang diterima petani tebu yakni 5,25 persen.

Subsidi suku bunga KKP yang ditetapkan dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi petani dalam menjalankan usaha tani atau ternaknya. Subsidi suku bunga tersebut bertujuan agar : a). suku bunga yang dibayar petani menjadi lebih ringan, b). petani dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya secara optimal, c) meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, serta d) meningkatkan ketahanan pangan nasional.

MANFAAT BAGI PETANI DAN LEMBAGA PELAKSANA SERTA PENDUKUNG PROGRAM KKP
Program KKP merupakan program subsidi bunga bagi para petani yang meminjam kepada bank pelaksana yang ditunjuk dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Output yang diharapkan adalah para petani dapat menikmati subsidi bunga pinjaman perbankan sebagai insentif untuk mengusahakan beberapa komoditas yang ditentukan, sehingga modal usaha yang didapatkan akan digunakan untuk keperluan usaha tani, sehingga dapat meningkatkan produktifitas usaha tani dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani.

Dalam pelaksanaan Program KKP, di setiap lokasi memiliki kebijakan local tertentu dengan prosedural tertentu yang telah ditetapkan oleh fihak perbankan selaku fihak yang memiliki dana. Sehingga ada beberapa pemangku kepentingan selain petani yang juga terlibat dan mendapatkan manfaat dari adanya Program KKP. Manfaat tersebut bersifat manfaat langsung berupa materiil atau mendpat manfaat tidak langsung dari Program KKP. Peran dan manfaat yang diperoleh dari masing-masing pemangku kepentingan di tiga lokasi studi dapat dilihat pada matrik table berikut:

MANFAAT PROGRAM KKP BAGI PETANI
Petani sebagai sasaran utama Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) mendapatkan manfaat berupa pinjaman permodalan usaha tani dengan bunga yang telah disubsidi pemerintah yang lebih ringan bila dibandingakan dengan tingkat suku bunga perbankan komersial. Dengan adanya pinjaman permodalan usaha tani, petani akan dapat pembiayaan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan usaha taninya.

Hal tersebut dapat dirasakan para petani apabila sedang musim tanam yang memerukan dana untuk membeli benih, pupuk, peralatan pertanian atau sarana produksi pertanian lainnya, dan ongkos untuk upah kerja mengolah lahan. Kebutuhan pembiayaan juga masih dibutuhkan pada saat pemeliharaan tanaman atau ternak yang diusahakan, ketikan tanaman memerlukan pemupukan harus terpenuhi kebutuhan pupuknya supaya produktifitas usaha tani yang diusahakan tidak mengalami penurunan. Demikian pula ketika usaha tani sedang terserang hama tau penyakit tanaman juga memerlukan pembiayaan untuk membeli obat-obatan, apabila mengalami keterlambatan akan berakibat menurunnya produktifitas usaha taninya. Sedangkan untuk usaha peternakan dana KKP diperlukan pembiayaan untuk pakan harian untuk ternak secara kontinyu serta obat-obatan, sehingga pertumbuhan ternak dapat optimal.

Dari sisi manfaat KKP bagi peningkatan produktifitas usaha tani dapat tercapai apabila pencairan dana KKP dapat dilaksanakan tepat waktu dan tepat jumlah berdasarkan tahapan-tahapan pemenuhan kebutuhan usaha tani. Apabila pencairan skim dana KKP tidak tepat waktu dan tidak tepat jumlah, maka manfaat Program KKP bagi peningkatan produktifitas usaha tani tidak akan tercapai. Apabila peningkatan produktifitas usaha tani tidak tercapai, maka akan mengurangi hasil panen petani yang juga berarti berkurangnya pendapatan petani. Kurang optimalnya hasil panen usaha tani petani akan mempengaruhi kemampuan pengembalian dana KKP kepada fihak perbankan.

Dari tiga lokasi studi Evaluasi Faktor-Faktor yang Mendorong Keberhasilan Maupun Kegagalan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yakni di Kabupaten Karawang, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Lampung Tengah manfaat Program KKP bagi petani dengan kondisi beragam. Untuk di Kabupaten Karawang dana KKP yang telah disetujui diberikan oleh fihak BRI kepada petani pada saat menjelang musim tanam secara penuh sekaligus. Harapannya petani dapat dengan leluasa membelanjakan dana pinjaman skim KKP untuk keperluan pemenuhan kebutuhan usaha taninya. Menurut keterangan responden petani memberikan keterangan bahwa bagi petani yang memiliki manajemen keuangan usaha tani yang baik dan tingkat pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarga harian yang baik, dana KKP dapat dibelanjakan secara tepat waktu dan tepat jumlah untuk kebutuhan usaha bercocok tanam padinya. Namun bagi petani yang tidak memiliki kemampuan manajemen keuangan yang baik dan kondisi perekonomian keluarga yang pas-pasan, sering dana KKP selain untuk pemenuhan kebutuhan usaha tani, juga digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga petani.

Di Kabupaten Cirebon dana KKP yang telah disetujui diberikan oleh fihak BRI atau Bank Bukopin melalui koperasi yang auto debet dengan rekening PG yang didistrusikan kepada petani secara bertahap beberapa kali menjelang musim tanam maupun saat-saat pemeliharaan kebun tebu. Menerut beberapa responden petani dan pengurus APTRI, pola tersebut diberikan untuk menghindari aliran dana menyamping penggunaan dana KKP selain untuk kebutuhan kebun tebu oleh petani. Namun petani juga mengeluhkan karena dana KKP yang diturunkan secara bertahap sering kali tidak tepat jumlah dan tidak tepat waktu, sebab ada waktu jeda antara waktu kebutuhan dan waktu pencairan ke petani. Sehingga di saat petani memerlukan dana untuk membeli sarana produksi pertanian dana belum tersedia dan baru tersedia pada saat sudah tidak memerlukan, menurut keterangan petani hal inilah yang menyebabkan adanya aliran dana menyamping dari dana KKP untuk kebutuhan konsumsi keluarga.

Jumlah dana yang diajukan berdasarkan RDKK yang disusun petani bersama PPL ada kalanya dengan yang disetujui oleh bank dan realisasi pencairan dari fihak PG sering tidak sesuai, sehingga kurang bisa memenuhi kebutuhan usaha tani tebu petani. Pengembalian dana KKP dilakukan setelah panen dan tebu milik petani digiling di Pabrik Gula yang kemudian dinilai produktifitas rendemen tebu tersebut dan dihitung berdasarkan harga gula yang telah ditetapkan. Setelah nilai tebu yang telah digiling menjadi gula dihargai oleh PG kemudian langsung dipotong pengembalian dana KKP. Sistem yang demikian dipandang oleh para petani kurang transparan sebab penilaian tersebut dilakukan secara sepihak yang ada kalanya dianggap merugikan petani. Meskipun petani mendapatkan bantuan permodalan dari program KKP namun pendapatan petani masih relatif sama keadaanya dari tahun ke tahun.

Sedangkan untuk di Kabupaten Lampung Tengah Bank Niaga hanya bersedia menyalurkan dana KKP kepada mitra PT GGLC yang digunakan untuk membayar bakalan atau bibit sapi. Bank Niaga mencairkan dana KKP setelah ada rekomendasi dari PT GGLC yang sebelumnya peternak telah memiliki kontrak pengadaan bakalab atau bhibit sapi dengan PT GGLC. Dana setelah dicairkan kepada petani langsung dibayarkan kepada PT GGLC selaku penyedia bakalan atau bibit sapi. Kemudian para peternak selaku mitra PT GGLC akan disuplay kebutuhan pakan sapinya berupa serat nenas dan konsentrat secara rutin sampai masa panen dari PT GGLC. Pembayaran pakan kepada PT GGLC akan dihitung di akhir masa penjualan ternak sapi secara kontan. Dengan sistem yang demikian peternak mendapatkan keuntungan sebesar Rp 300.000,- per bulannya sebab satu orang peternak hanya diberi pinjaman untuk tiga ekor per orang yang diusahakan selama tiga bulan, sedangkan keuntungan total dari tiga ekor sapi yang diusahakan sebesar Rp 900.000,- selama tiga bulan.

Dengan pendapatan Rp 300.000,- per bulan peternak merasa kurang cukup bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari hari, namun para petani tidak dapat meningkatkan jumlah sapi yang diusahakan sebab skim KKP hanya mampu mendanai dengan jumlah tersebut. Para peternak juga merasa hanya sebagai tempat memelihara dan penggemukan ternak sedangkan margin pendapatan lebih banyak dinikmati oleh bukan peternak.

MANFAAT BAGI LEMBAGA PELAKSANA SERTA PENDUKUNG PROGRAM KKP
Selain petani, ada fihak-fihak lain yang juga mendapatkan manfaat dari program KKP. Manfaat tersebut dapat berupa manfaat langsung berupa keuntungan materiil maupun manfaat tidak langsung dari pengguliran dana KKP. Pemerintah desan dan dan dinas teknis terkait mendapatkan manfaat tidak langsung dari adanya program KKP ini, ada kalanya karena tidak merasa ada manfaat yang lang sung diterimanya sehingga mereka kurang intensif memfasilitasi dan melakukan pembinaan kepada petani dan peternak penerima skim KKP.

Sedangkan koperasi dan perusahaan-perusahaan penjamin atau afalis mendapatkan keuntungan langsung secara materiil dari perguliran dana KKP. Keuntungan tersebut berasal dari keterjaminan bahan baku industri yang diusahakan, pengadaan sarana dan prasarana usaha tani, serta margin penjualan hasil usaha tani penerima skim KKP. Dengan model demikian keuntungan perusahaan afalis dapat diraih hampir secara konstan tiap periodenya dengan cash flow yang aman. Sedangkan menurut Penelitian Direktorat Pengolahan dan dan Pemasaran Hasil Pertanian, margin yang dinikmati oleh petani dari sub sistem agribisnis on farm hanya 9% dari total subsistem agribisnis. Sedangkan potensi nilai tambah dalam agribisnis subsistem sarana produksi sebesar 12%, subsistem pasca panen dan pengolahan 17%, serta perdagangan besar/grosir sebesar 21% yang dinikmati oleh perusahaan selaku afalis.

Rabu, Maret 04, 2009

Gambaran Pelaksanaan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP)


Gambaran Pelaksanaan Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di Kab. Karawang, Kab. Cirebon, dan kab. lampung Tengah
Tonny F. Kurniawan,
Surono, Ahmad Misbah

1. KABUPATEN KARAWANG
Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di Kabupaten Karawang hampir seluruhnya digunakan untuk membiayai komoditas tanaman padi, karena Kabupaten Karawang sebagian besar petaninya mengusahakan bercocok tanam padi dan terkenal sebagai lumbung padi di Jawa Barat bahkan Nasional. Meskipun dalam siklus padi yang dianjurkan oleh dinas pemerintah daerah setempat juga perlu diselingi dengan menamami lahan dengan palawija, namun produk palawija tidak mendapat pinjaman dalam skim program KKP.

Program KKP berada di bawah koordinasi Setda Kabupaten Karawang Bagian Perekonomian Seksi Ketahanan Pangan yang dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kabupaten Karawang, khususnya bagian Bina Usaha. Dinas berperan dalam melakukan sosialisasi, memberikan rekomendasi teknis dalam seleksi, pembinaan, dan evaluasi Kelompok Tani (KT) peserta Program KKP. Dalam fungsi kedinasan di lapangan Petugas Penyulu Lapang (PPL) menjadi ujung tombak berkomunikasi dan berinteraksi dengan petani, termasuk membimbing petani dalam penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), yang menjadi salah satu syarat dalam pengajuan skim KKP.

Di Kabupaten Karawang, pihak Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) menyatakan besaran dana KKP untuk tanaman padi adalah Rp. 3.000.000,-/ha. Sedangkan luasan rata-rata lahan para petani yang dibiayai dengan menggunakan dana KKP sebesar 0,3 ha/petani. Petani yang berminat menjadi peserta Program KKP harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Adapun persyaratan administratif untuk mengajukan skim Program KKP di Kabupaten Karawang antara lain:
1. Membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang ditandatangani oleh PPL dan kepala desa setempat.
2. Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT) atau sertifikat lahan yang akan ditanami sebagai agunan.

Sebagian persayaratan tersebut dianggap oleh sebagian petani masih memberatkan, terutama bagi para petani kecil. Persayaratan utama yang masih memberatkan petani adalah adanya keharusan memiliki SPPT atau sertifikat lahan yang dijadikan sebagai jaminan atas dana KKP yang dipinjam. Nilai jaminan yang diminta dapat lebih besar dari nilai pinjamannya. Bagi petani kecil tentunya hal ini masih menjadi kendala mengingat masih banyak lahan-lahan petani yang belum dilengkapi dengan kelengkapan administratif tersebut. Setelah petani memenuhi persyaratan administratif tersebut, para petani berhimpun dan mengajukan pinjaman skim KKP atas nama kelompok tani kepada bank. Pemegang keputusan yang menentukan diterima atau tidaknya petani atau kelompok tani untuk menjadi peserta Program KKP adalah pihak bank, dalam hal ini Bank Rakyat Indonesia sebagai bank pelaksana penyaluran Program KKP di Kabupaten Karawang.

Setelah pengajuan kredit disetujui oleh BRI, kemudian BRI mencairkan dana KKP dlam bentuk uang tunai ke rekening petani. Sebagai bahan laporan dan evaluasi, pihak BRI secara rutin memberikan tembusan kepada dinas mengenai kondisi pengembalian Program KKP dari petani. Petani yang mengembalikan dana KKP secara sekaligus setelah padi yang diusahakan dipanen atau sistem yang poluper di petani disebut “yarnen” dibayar setelah panen. Untuk modal musim tanam padi berikutnya petani kembali mengajukan skim KKP seperti halnya sebelumnya, sehingga petani harus mengajukan skim KKP setiap musim tanam. Menurut keterangan petani dan dinas, KKP juga bermanfaat membantu petani dan program pemerintah untuk menerapkan teknologi sesuai anjuran secara optimal sehingga dapat meningkatkan

2. KABUPATEN CIREBON
Program KKP di Kabupaten Cirebon digunakan untuk membiayai komoditas tanaman tebu, karena Kabupaten Cirebon khususnya Kabupaten Cirebon bagian timur lahan didominasi oleh tanaman tebu. Hal ini cukup beralasan mengingat keberadaan tiga pabrik gula (PG) milik RNI di kota ini. Kebiasaan turun-temurun para petani dalam bercocok tanam tebu juga menjadi faktor yang mendorong luasnya usahatani tebu hingga saat ini. Dalam pelaksanaan program KKP, Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon tidak terlibat secara langsung. Dinas berperan dalam melakukan sosialisasi, memberikan rekomendasi teknis dalam seleksi, pembinaan, dan evaluasi Kelompok Tani (KT) peserta KKP. Pemegang keputusan yang menentukan diterima atau tidaknya petani dalam kelompok tani atau koperasi untuk menjadi peserta KKP adalah pihak bank, dalam hal ini BRI dan Bukopin sebagai bank pelaksana penyaluran KKP di Cirebon, atas pertimbangan dan rekomendasi PG sebagai pihak penjamin pinjaman (avalis). Sebagai bahan laporan dan evaluasi, pihak bank secara rutin memberikan tembusan kepada dinas mengenai kondisi pengembalian KKP dari petani.

Petani yang berminat menjadi peserta KKP harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Bagi pihak bank pada prinsipnya ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh petani yang akan mengajukan KKP-TR, yaitu:
Luasan lahan yang dapat diajukan untuk dibiayai dengan KKP maksimal 2 ha/petani,
Mendapat rekomendasi dan jaminan dari PG yang bertindak sebagai penjamin kredit (avalis). Untuk itu petani yang bersangkutan harus bergabung dalam kelompok tani dan koperasi mitra binaan salah satu Pabrik Gula (PG) yang terdapat di Cirebon sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.

Penerapan kedua syarat di atas mungkin terdapat beberapa perbedaan dan banyak mengalami penyesuaian di lapangan. Ukuran luas lahan yang dibatasi 2 ha/petani pada kenyataannya dapat disiasati oleh petani. Seorang petani yang menggarap lahan lebih dari 2 ha dapat mencantumkan namanya atas lahan seluas 2 ha, dan kelebihan lahan dibagi atas nama para pekerjanya. Untuk mendapatkan rekomendasi dari PG, petani harus mengikuti ketentuan dari PG yang bersangkutan. Setiap PG memiliki batas wilayah kerja masing-masing. Oleh karena itu persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani agar mendapat rekomendasi dapat berbeda jika para petani tersebut berada dalam wilayah kerja PG yang berbeda.

Rekomendasi PG dalam posisinya sebagai avalis sangat menentukan bagi diterima atau ditolaknya petani yang mengajukan kredit. Rekomendasi PG berarti juga pernyataan kesediaan PG untuk menjadi penjamin bagi kredit yang diajukan oleh petani kepada pihak bank.

Menurut keterangan pihak BRI, besaran dana KKP yang dikeluarkan kepada petani untuk setiap hektar tanaman tebu berbeda untuk setiap tipe, secara rata-rata sebagai berikut: TRIS I (11,05 juta/ha), TRIS II (7,8 juta/ha), TRIT I (8,55 juta/ha), TRIT II – IV (6,25 juta/ha). Besaran dana maksimal yang dapat diajukan oleh petani ini tidak mutlak, tetapi didasarkan juga pada kesepakatan yang dibuat diantara pihak-pihak yang terkait dalam program KKP sebelum keputusan tersebut ditetapkan. Hal ini mengingat kebutuhan masing-masing petani dapat berbeda pada kondisi areal kebun yang berbeda.

Petani menerima KKP dalam bentuk tunai dan sarana produksi. Dalam bentuk tunai, penerima dana KKP dapat saja menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadinya di luar usahataninya. Oleh karena itu sebagai antisipasi pihak PG menyalurkan dana kepada petani secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan tahapan kerja yang dilakukan di kebun. Tetapi di sisi lain metode seperti ini menjadi tidak efektif jika proses pencairan dana mengalami keterlambatan, sehingga mengorbankan petani dan kebunnya. Di lapangan, petani sering mengalami keterlambatan pengerjaan kebunnya karena keterlambatan pencairan dana ini. Jika hal ini tidak diperbaiki maka akan berdampak pada penyimpangan teknik budidaya yang dapat menurunkan produktifitas.

Dana yang digunakan pada program KKP-TR sampai saat ini dalam kondisi aman, dalam arti setiap pinjaman oleh petani selalu dibayar lunas kepada pihak bank. Hal ini dapat dilakukan karena yang membayar adalah pihak PG sebagai penjamin petani, meskipun petani tersebut mengalami kerugian. Adapun perhitungan untung dan rugi dilakukan antara petani dengan pihak PG. Dengan demikian dalam hal ini ketepatan jumlah dan waktu pengembalian dana KKP dari petani (yang difasilitasi Koperasi dan PG) kepada pihak bank tidak dapat dijadikan ukuran bahwa kesejahteraan petani tebu meningkat. Pada kondisi tertentu, petani sering mengalami kerugian dari hasil bertanam tebu. Pada saat itu pihak PG biasanya menangguhkan pengembalian pinjaman sampai musim giling berikutnya.
Petani menerima Program KKP dalam bentuk tunai dan sarana produksi. Dalam bentuk tunai, penerima dana Program KKP dapat saja menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadinya di luar usahataninya. Oleh karena itu sebagai antisipasi pihak PG menyalurkan dana kepada petani secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan tahapan kerja yang dilakukan di kebun. Tetapi di sisi lain metode seperti ini menjadi tidak efektif jika proses pencairan dana mengalami keterlambatan, sehingga mengorbankan petani dan kebunnya. Di lapangan, petani sering mengalami keterlambatan pengerjaan kebunnya karena keterlambatan pencairan dana ini. Jika hal ini tidak diperbaiki maka akan berdampak pada penyimpangan teknik budidaya yang dapat menurunkan produktifitas.

Dana yang digunakan pada program KKP-TR sampai saat ini dalam kondisi aman, dalam arti setiap pinjaman oleh petani selalu dibayar lunas kepada pihak bank. Hal ini dapat dilakukan karena yang membayar adalah pihak PG sebagai penjamin petani, meskipun petani tersebut mengalami kerugian. Adapun perhitungan untung dan rugi dilakukan antara petani dengan pihak PG. Dengan demikian dalam hal ini ketepatan jumlah dan waktu pengembalian dana Program KKP dari petani (yang difasilitasi Koperasi dan PG) kepada pihak bank tidak dapat dijadikan ukuran bahwa kesejahteraan petani tebu meningkat. Pada kondisi tertentu, petani sering mengalami kerugian dari hasil bertanam tebu. Pada saat itu pihak PG biasanya menangguhkan pengembalian pinjaman sampai musim giling berikutnya.

3. KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Salah satu daerah untuk pelaksanaan Program KKP Peternakan adalah Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Berdasarkan data statistik BPS Tahun 2005 populasi sapi potong di Provinsi Lampung mencapai 394.501 ekor. Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah sentra peternakan sapi untuk wilayah Provinsi Lampung. Pola kemitraan dengan memanfaatkan dana KKP dilakukan antara perbankan, perusahaan sarana produksi/sarana peternakan, lembaga penjamin, lembaga penampung hasil/pasar, perusahaan swasta lainnya bergerak di bidang pertanian serta pemerintah daerah setempat. Dalam program KKP Peternakan di Kabupaten Lampung Tengah kelembagaan yang terlibat adalah Bank Niaga Cabang Tanjung Karang, Dinas Peternakan Kabupaten Lampung Tengah, PT Great Giant Livestock Company (GGLC) dan kelompok peternak.

Bank pelaksana Program KKP Peternakan ini adalah Bank Niaga Cabang Tanjung Karang yang berkedudukan di Bandar Lampung. Bank ini tidak memiliki perwakilan langsung di Lampung Tengah. Dinas Peternakan Kabupaten Lampung Tengah berfungsi memberikan rekomendasi serta pelayanan teknis terhadap kelompok – kelompok peternak yang mengajukan kredit program ini melalui PPL. Sedangkan PT GGLC melalui program kemitraan berfungsi sebagai perusahaan mitra Program KKP yang memberikan rekomendasi kelompok – kelompok ternak yang akan mendapatkan kredit program ini terutama adalah kelompok-kelompok ternak yang selama ini telah menjadi binaannya dengan syarat-syarat tertentu.

Proses penyaluran Program KKP Peternakan Sapi Potong di Lampung Tengah adalah sebagai berikut: kelompok ternak yang selama ini bermitra dengan PT GGLC atau telah diakui sebagai mitra binaan PT GGLC melalui kemitraan swadana menyusun RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), PPL atau Petugas Teknis Dinas Peternakan Kabupaten Lampung Tengah membantu dalam penyusunan RDKK dan mengesahkan blanko RDKK, PT GGLC memberikan rekomendasinya kepada kelompok peternak yang mengajukan Program KKP, RDKK yang sudah direkomendasikan Dinas Peternakan dan PT GGLC disampaikan langsung ke Bank Niaga Cabang Tanjung Karang, Bank Niaga Cabang Tanjung Karang memverifikasi kelengkapan dokumen RDKK dan kelompok ternak calon penerima KKP. Setelah lolos verifikasi Bank pelaksana kelompok peternak terpilih menandatangi akad kredit dengan Bank Niaga Cabang Tanjung Karang, Bank Niaga Cabang Tanjung Karang menyalurkan KKP kepada kelompok ternak bermitra dengan PT GGLC, PT GGLC menyediakan paket program berupa 9 ekor sapi per kelompok peternak, pengembalian Program KKP melalui pemotongan langsung ketika sapi dijual atau dipasarkan PT GGLC.

Berdasarkan Pedoman Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) Tahun 2006 yang dikeluarkan Pusat Pembiayaan Pertanian, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian, plafon atau kebutuhan Kredit Usaha Pembesaran Sapi Potong umur 18 – 24 bulan adalah sebagai berikut :

PT GGLC merupakan perusahaan yang bergerak dalam peternakan sapi, terutama sapi potong impor dari Australia seperti sapi jenis Brahman Cross. PT GGLC mulai beroperasi tahun 1987, sedangkan untuk impor Brahman Cross dilakukan mulai tahun 1990. PT GGLC memiliki lahan seluas 50 ha, dari luas lahan tersebut sebanyak 15 ha dimanfaatkan untuk kandang sapi. Kemitraan yang dibangun PT GGLC dengan peternak di sekitarnya dilakukan sebelum Program KKP digulirkan yaitu mulai tahun 1990. Bentuk kemitraannya adalah melalui program swadana yaitu peternak menyiapkan sarana produksi peternakan seperti bakalan sapi dan kandang. Bakalan bisa beli di PT GGLC atau beli di pasar melalui broker. Sedangkan PT GGLC dalam kemitraan ini menyediakan paket pakan, supervisi dan pasar yang biayanya akan dibebankan kepada peternak. Biaya ini akan dipotong langsung ketika peternak menjual ternak sapinya ke PT GGLC. Peternak atau kelompok ternak yang telah melakukan kegiatan kemitraan swadana ini serta terjalinnya kepercayaan antara kedua belah pihak maka kemudian oleh PT GGLC dijadikan sebagai kelompok ternak binaan PT GGLC.

PT GGLC terlibat dalam program KKP sebagai perusahaan mitra sejak kredit program ini digulirkan mulai tahun 2000. Dalam kredit program ini, PT GGLC hanya memfasilitasi kelompok – kelompok ternak yang selama ini telah menjadi mitranya dalam kemitraan swadana. Jika ada kelompok peternak baru yang ingin mendapat fasilitas kredit program ini maka kelompok peternak tersebut harus mengikuti pola kemitraan swadana dahulu. Baru setelah mengikuti pola kemitraan swadana kelompok peternak baru akan direkomendasikan PT GGLC untuk mendaptkan Program KKP Peternakan. Kelompok Ternak yang selama ini terlibat dalam Program KKP ini adalah Koperasi/kelompok ternak Brahman, Budidaya, Cempaka, Karang Indah, Brangus dan Lembu Sari. Kelompok tani tersebut 5 kelompok berdomisili di Kabupaten Lampung Tengah dan 1 kelompok berdomisili di Kabupaten Tulang Bawang.

Dalam program KKP PT GGLC menyediakan dan menyalurkan paket sapi bakalan Brahman Cross sebanyak 9 ekor per kelompok ternak dan sapronak (konsentrat dan obat-obatan), melakukan pembinaan dari aspek manajemen penggemukan sapi bakalan dan memfasilitasi pemasaran sapi hasil penggemukan. Sedangkan yang dilakukan peternak adalah membeli bakalan sapi dari PT GGLC, melakukan kegiatan penggemukan sapi bakalan selama 3 bulan sampai waktu sapi bisa dijual, dan mengembalikan seluruh kewajiban hutang yang dipotong ketika penjualan sapinya ke PT GGLC.

Bank Niaga cabang Tanjung Karang selama ini telah bekerjasama dengan PT GGLC untuk menyalurkan Program KKP Peternakan Sapi Potong yang tersebar di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang. Bank Niaga berperan hanya menyalurkan dana Program KKP ke kelompok ternak, sedangkan pendampingan teknis dilakukan oleh PT GGLC dan Dinas Peternakan Lampung Tengah. Pencairan dana langsung dilakukan Bank Niaga ke rekening koperasi/ kelompok ternak yang telah direkomendasikan PT GGLC dan Dinas Peternakan Lampung Tengah setelah dilakukan verifikasi administrasi dan lapangan. Kelompok Ternak dalam kredit program ini tidak dimintai agunan. Plafon yang digulirkan untuk setiap kelompok tani adalah Rp 15.000.000.

Dengan adanya Program KKP Peternakan ini, peternak mendapatkan manfaat dengan tersedianya dana kredit untuk memenuhi sarana produksi peternakan untuk pembelian sapi Brahman Cross dari PT GGLC dengan kualitas yang baik. Setiap kelompok peternak akan digulirkan sebanyak 1 paket dengan jumlah sapi Brahman Cross sebanyak 9 ekor. Di luar paket itu PT GGLC juga menyediakan pakan, obat-obatan dan supervisi. Pengembalian KKP ditambah pinjaman di luar KKP seperti pakan, obat-obatan dan lain – lain adalah melalui pemotongan langsung keuntungan kotor yang diperoleh sewaktu penjualan sapi Program KKP. Keuntungan bersih yang diperoleh peternak setelah penggemukan selama 3 bulan adalah Rp 300.000 sampai Rp 400.000 per ekor sapi. Jadi untuk 1 paket program keuntungan yang diperoleh kelompok ternak adalah Rp 2.700.000 sampai Rp 3.600.000 selama 3 bulan. Pada pelaksanaannya peternakan penerima Program KKP ini masih terbatas jumlahnya dan hanya kelompok ternak binaan PT GGLC yang sebelumnya terlibat dalam kemitraan swadana yang bisa mendapatkannya.

Studi Identifikasi Potensi Kawasan Laut di Riau dan Kepulauan Riau


STUDI IDENTIFIKASI POTENSI KAWASAN LAUT
DI RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

Peneliti:
Vincentius P. Siregar
Tonny F. Kurniawan
Sutrisno

I. PENDAHULUAN
Luas wilayah lautan atau perairan Propinsi Riau 235.366 Km2 atau 71,33% dari luas total wilayah Propinsi Riau. Bahkan jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, maka dengan kewenangan atas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah disepakati luas Propinsi Riau bertambah menjadi 379.000 Km2 . Jumlah pulau besar dan kecil 3.214 buah, dengan perairan pantai sepanjang 1.800 mil, hutan bakau (mangrove) seluas 300.000 hektar, dan kawasan pasang surut seluas 3.920.000 hektar.
Dengan pulau-pulau yang tersebar dan luas lautan atau perairan yang besar tersebut, maka Propinsi Riau memiliki sumberdaya alam perikanan melimpah. Potensi penangkapan ikan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan cukup besar. Potensi sumberdaya alam perikanan ini potensial untuk dikembangkan. Orientasi kebijakan ini sangat tepat, mengingat potensi sumberdaya minyak dan gas serta hutan yang telah digarap selama ini telah menunjukkan gejala penurunan (leveling off) yang sangat signifikan. Oleh karena itu pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan diharapkan akan dapat menjadi alternatif dan sumber pertumbuhan baru bagi kesinambungan pembangunan di wilayah Propinsi Riau.
Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah teridentifikasinya potensi sumberdaya hayati maupun non hayati dan kendala pemanfaatan sumber daya alam kelautan di wilayah Propinsi Riau, sehingga dapat terwujud pemanfaatan sumber daya alam kelautan yang optimal dan terlestarikan.

II. METODOLOGI
Lokasi studi Identifikasi Potensi Kawasan Pesisir dan Lautan Propinsi Riau terletak di kawasan Pesisir dan Lautan, Propinsi Riau. Daerah studi ini mencakup 9 (sembilan) wilayah kabupaten/kota, yakni Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Karimun, Kota Batam, Kabupaten Kepulauan Riau, dan Kabupaten Natuna.
Pengumpulan data meliputi: pengumpulan data sekunder (pengumpulan peta-peta dan citra landsat, pengumpulan data statistik dan hasil penelitian, data instansi dan dinas pemerintah daerah yang terkait); pengumpulan data primer (komponen fisik kimia, komponen hayati, dan survei sosial). Data berupa data statistik dan pengamatan lapangan dianalisis melalui metode tabulasi dan interpretasinya dilakukan melalui metode deskriptif. Sedangkan pengolahan data berupa informasi peta-peta dianalisis melalui metode overlaping dan deskriptif.

III. POTENSI SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN
3.1 SUMBERDAYA ALAM HAYATI
3.1.1 Estuaria
Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria merupakan tempat bertemunya arus air sungai dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisik lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. Banyaknya unsur hara di daerah estuaria mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, termasuk makrophyta dan phytoplankton. Daerah pesisir biasanya merupakan daerah pemusatan industri, yang limbah buangannya masih mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun, maka informasi mengenai ini sangat penting untuk pengelolaannya. Dari hasil citra satelit terlihat bahwa penyebaran estuaria terdapat dalam areal yang luas di Kepulauan Riau, khususnya Pulau Bintan.

3.1.2 Mangrove
Penyebaran mangrove di Provinsi Riau sebagian besar terdapat di Riau daratan, yakni di Kabupaten Indragiri Hilir. Sedangkan di Riau daratan lainnya (sebagian Bengkalis, Pelalawan, dan Rokah Hilir) mangrove hanya terdapat sebagian kecil saja, lainnya merupakan hutan pantai. Pada dasarnya mangrove mempunyai tiga fungsi utama yaitu (1) fisik meliputi menjaga garis pantai agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dan tebing sungai dan mengolah limbah. (2) biologis ekologis meliputi tempat benih ikan, udang dan kerang dan lepas pantai, tempat bersarangnya burung-burung besar, habitat alami bagi banyak biota, nursery ground, feeding ground dan selter area bagi biota perikanan. (3) ekonomi meliputi tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, hasil-hasil kayu dan nonkayu.
Pemanfaatan kayu mangrove di Provinsi Riau secara umum digunakan untuk: (1) kayu bakar, arang dan alkohol. (2) untuk konstruksi rumah, konstruksi berat, pancang geladak, tiang dan galah banguan, material pembuatan kapal, serpihan kayu, pagar dan lain-lain. (3) alat untuk memancing, pelampung dan racun ikan, (4) untuk pertanian dan pakan ternak. (5) peralatan rumah tangga dan mainan, (6) arang, (7) chip wood yaitu serpihan buat bahan kertas (pulp).

3.1.3 Padang Lamun (seagrass beds)
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Lamun yang hidup merupakan kelompok tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae. Keunikan dari tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran yang ekstensif dan sistem rhizome. Karena tipe perakaran ini menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun menjadi lebat, dan ini besar manfaatnya dalam menopang produktivitas ekosistem padang lamun. Disamping itu ada beberapa tumbuhan lamun yang melakukan fiksasi nitrogen ditandai dengan ditemukan mengandung epiphyte (blue-green algae), hal ini memegang peranan penting dalam kesuburan komunitas lamun, sehingga komunitas padang lamun sangat produktif. Padang lamun sangat sedikit berada di Provinsi Riau, tetapi masih dapat dilihat di daerah Riau Kepulauan, khususnya di Barelang (Batam, Rempang, Galang), Kepulauan Riau, dan Natuna.

3.1.4 Terumbu Karang (coral reefs )
Terumbu karang merupakan organisme yang hidip di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Penyebaran terumbu karang di Provinsi Riau tidak ditemui di perairan laut Riau daratan, tapi berada di Riau kepulauan yakni sebagian besar di Natuna, kemudian Kepulauan Riau, Barelang, dan Karimun.

Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada hakekatnya tidak selalu tetap, akan tetapi sering berubah karena adanya gangguan baik karena aktifitas alam maupun aktifitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor-faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan/atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya.

3.1.5 Sumberdaya Perikanan
3.1.5.1 Perikanan Tangkap
Potensi perikanan tangkap (laut) di Propinsi Riau sangat besar. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau (2002) menunjukkan bahwa di Selat Malaka diperkirakan potensi tersedia sebesar 141.546 ton, dengan potensi lestari sebesar 84.928 ton, sedangkan di Laut Cina Selatan potensi tersedia sebesar 602.348 ton, dengan potensi lestari 361.430 ton.

Usaha penangkapan ikan di laut merupakan penyumbang terbesar dari produksi perikanan Riau. Dari total produksi sebesar 308.808,80 ton, sebesar 286.290.40 ton (92,7%) berasal dari penangkapan ikan di laut. Daerah-daerah potensial penghasil ikan tangkap di Riau terdapat di Kabupaten Kepulauan Riau, Natuna, Karimun, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Indragiri Hilir.


3.1.5.2 Perikanan Budidaya
Potensi perikanan tambak di Propinsi Riau hingga saat ini belum dikembangkan secara serius. Budidaya yang dikembangkan antara lain rumput laut, kolam, keramba, tambak, Nilai produksi budidaya keramba di Riau mengalami penurunan sebesar dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh kurangnya benih ikan dan kegagalan panen. Kegagalan panen ini kemungkinan besar disebabkan oleh perairan lokasi keramba mengalami pencemaran limbah rumah tangga dan pabrik yang ada di sekitar aliran sungai. Jenis ikan yang dominan di budidayakan pada keramba adalah kakap putih (Lates calcariver) di samping kerang darah (Anadara granosa) dan kepiting (Scylla serrata).

3.2 SUMBERDAYA ALAM NON HAYATI
Potensi sumberdaya alam non hayati (baca: pertambangan) di kawasan pesisir dan lautan Riau cukup potensial. Namun sektor ini terhambat oleh beberapa kendala dalam peningkatan nilai produk. Tambang timah di Bintan sudah habis tahun 2002. Tambang granit di Karimun dapat dilakukan selama 15 tahun mendatang dengan tingkat penggalian seperti saat ini. Seperti halnya tambang pasir di Selat Singapura dan sekitar Batam-Kepulauan Bintan, kegiatan penambangan ini pada dasarnya beroperasi dengan nilai yang rendah yang lebih mendukung pembangunan konstruksi di Malaysia dan Singapura daripada memberikan penghasilan bagi wilayah Riau itu sendiri. Batu bara berlimpah di wilayah Riau daratan, namun dengan kualitas yang rendah.

IV PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT

Pertambahan jumlah penduduk yang pesat (3,8%) di Propinsi Riau berimplikasi kepada tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Meningkatnya kebutuhan akan permukiman, lahan pertanian, perkebunan, perhutanan, dan perikanan telah mendorong pemerintah daerah memberikan ijin pengusahaan dan ekploitasi sumberdaya alam baik di daratan maupun di lautan. Beberapa permasalan yang perlu memperoleh perhatian secara cermat dan mendalam dalam pengelolaan sumberdaya alam kawasan pesisir dan lautan antara lain:

(1) Aspek Penurunan Kualitas Lingkungan
Secara garis besar berbagai permasalahan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir dan lautan Propinsi Riau meliputi: (1) pencemaran, (2) degradasi fisik habitat, (3) over eksploitasi sumberdaya alam, (4) abrasi pantai, dan (5) konversi kawasan lindung (hutan mangrove) menjadi peruntukan pembangunan lainnya.

2) Aspek Sumberdaya Manusia
Permasalahan pembangunan kawasan pesisir dan lautan juga dihantui oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rata-rata tingkat pendidikan nelayan dan petambak di pesisir timur Riau dan Riau kepulauan adalah tidak tamat sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan kendala pembangunan kawasan pesisir yang akan mengakibatkan keterbatasan dalam proses adopsi teknologi, penerimaan dan penyebaran informasi, kesadaran menjaga kelestarian lingkungan dan kualitas kesehatan, dan kemampuan mengakses permodalan. Faktor budaya tampaknya merupakan alasan yang dapat dikemukakan mengapa masyarakat pesisir pantai Riau umumnya berpendidikan rendah. Masyarakat pesisir pada umumnya cenderung memandang pendidikan bukan merupakan kebutuhan pokok untuk mengubah nasib.

(3) Aspek Penguasaan Teknologi
Sesuai dengan tingkat pendidikannya yang umumnya rendah, maka nelayan dan petambak umumnya juga sangat rendah dalam penguasaan teknologi. Sarana dan peralatan penangkapan ikan yang digunakan oleh para nelayan umumnya masih tradisional. Demikian halnya pada sektor perikanan budidaya. Para petambak dalam mengelola tambaknya juga masih tradisional. Minimnya penguasaan teknologi juga terlihat dari sangat sedikitnya aktivitas pengolahan ikan untuk memberikan nilai tambah pada produk perikanan. Masyarakat nelayan umumnya memasarkan ikan hasil tangkapannya dalam keadaan belum diolah sama sekali, sehingga produk perikanan ini mudah mengalami penurunan mutu (rigor mortis) dan masih sedikitnya variasi produk yang dihasilkan. Hal ini pulalah yang membuat pendapatan nelayan cenderung semakin tidak menentu dan mudah dipermainkan pasar akibat mereka harus segera menjual ikan tangkapannya untuk menghindari kerusakan.

(4) Aspek Sosial
Kehidupan nelayan sangat identik dengan hidup yang keras, kemiskinan, kesengsaraan, taraf pendidikan yang rendah, kualitas kesehatan yang kurang, dan lingkungan hunian yang kumuh. Hal ini juga dialami oleh para nelayan di wilayah Propinsi Riau. Dalam upaya melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut, para nelayan tidak saja harus berhadapan dengan ganasnya alam lautan, melainkan juga sering harus menghadapi konflik dengan kelompok nelayan lain. Bahkan para nelayan juga sering mendapatkan resiko perompakan di tengah laut. Sistem pengaturan zona tangkap sering dilanggar oleh para nelayan, sehingga nelayan dari daerah lain sering melakukan kegiatan penangkapan di luar zona penangkapnnya. Permasalahan sosial akibat zonasi ini sudah mengakibatkan bentokan fisik antar nelayan bahkan sudah terjadi bakar membakar kapal nelayan.

(5) Aspek Permodalan
Rendahnya minat lembaga perbankan untuk menyalurkan kredit usaha di sektor perikanan sering dikeluhkan oleh para nelayan dan masyarakat di kawasan pesisir. Kalangan perbankan senantiasa memandang, bahwa usaha di sektor perikanan dan agrobisnis pada umummnya, cenderung memiliki resiko yang tinggi. Oleh karena itu pihak perbankan selama ini mengambil kebijakan yang konservatif guna menyalurkan dananya pada sektor ini. Tidak heran jika selama ini para nelayan sebagian besar mendapatkan permodalan dari para tengkulak untuk memenuhi kebutuhan modal usaha maupun kebutuhan sehari-harinya. Hal ini pada gilirannya memunculkan patron dan klien yang kurang sehat. Beberapa persoalan dari kondisi ini adalah adanya pengendalian harga ikan oleh para tengkulak, sulitnya inventarisasi data hasil tangkapan, dan sulitnya pembinaan bagi para nelayan.


V. STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT

5.1. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT
Pengembangan kawasan pesisir dan lautan di Provinsi Riau dapat dikembangkan dengan memperhatikan beberapa aspek, antara lain: kondisi tipologi lingkungan ekosistem, geografis, keberadaan potensi sumberdaya yang dimiliki, dan perkembangan kondisi kawasan sekitarnya. Aspek-aspek tersebut harus dapat dirangkai dan dicari titik temunya, sehingga pembangunan kawasan yang akan dikembangkan menjadi tepat fungsi dan tepat sasaran. Dengan memperhatikan aspek-aspek di atas, maka strategi pengembangan kawasan pesisir dan lautan di Provinsi Riau secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kawasan, yakni:

I. KAWASAN I Kawasan Riau Daratan (Indragiri Hilir, Pelalawan, Bengkalis, Dumai, dan Rokan Hilir)
Kawasan ini berada di sekitar Selat Malaka dengan karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas di daratan atau daerah atasnya (up land ) baik pengolahan dan pemanfaatan lahan, serta aktivitas perekonomian dan pemukiman. Hal ini ditandai dengan warna perairan yang keruh, terjadinya sedimentasi dan pendangkalan yang besar, penurunan kualitas lingkungan, dan padat tangkap. Kondisi pesisir dan lautan yang ditandai dengan yang telah disebutkan di atas, merupakan gambaran bahwa pengolahan dan pemanfaatan lahan belum dilakukan secara bijak. Pengolahan dan pemanfaatan lahan di Riau seperti aktivitas pengolahan lahan perkebunan, HPH, dan industri pengolahan pada akhirnya tidak hanya mempengaruhi keseimbangan ekosistem di darat, tetapi pada akhirnya juga mempengaruhi keseimbangan ekosistem di pesisir dan lautan.

Strategi yang dibangun dari studi yang dilakukan untuk pembangunan kawasan ini adalah mengarahkan aktivitas penangkapan ke arah budidaya dan mengusahakan adanya industri pengolahan produk perikanan. Strategi yang diterapkan pada kawasan ini secara umum bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemberian alam dan melakukan konservasi lingkungan pesisir dan lautan. Selain itu perlu dilakukan pengawasan kawasan mangrove secara ketat.

II. KAWASAN II Kawasan Riau Kepulauan (Batam, Karimun, dan Kepulauan Riau)
Letak kawasan ini berada pada antara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan karakteristik kawasan ini sudah tidak terlalu dipengaruhi oleh aktivitas Riau daratan. Pada kawasan ini ditandi adanya mangrove, padang lamun, terumbu karang yang masih baik, kualitas perairan yang baik, dan masih terdapat spesies-spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Arah pembangunan pada kawasan ini perlu dilakukan kawasan perlindungan pesisir dan laut (marine protect area) yang meliputi kawasan perlindungan mangrove, padang lamun, ikan-ikan karang, dan terumbu karang. Lokasi yang paling memungkinkan dengan kondisi lingkungan yang dimiliki untuk menjadi kawasan perlindungan diantaranya adalah di daerah Batam, Rempang, dan Galang. Pada lokasi tersebut kondisi mangrove, padang lamun, ikan-ikan karang, dan terumbu karang masih tergolong baik.

Kota Batam merupakan daerah paling padat di antara daerah lokasi studi lainnya (286,76 Jiwa/Km2), selain itu perairan Batam juga sangat dekat dengan perairan Karimun yang sangat keruh akibat penambangan pasir yang dikhawatirkan akan menimbas sampai perairan Batam, padatnya lalu-lintas perairan. Hal-hal ini merupakan ancaman terhadap perairan Batam yang dapat dijadikan latar belakang pembentukan kawasan perlindungan (marine protect area) di Barelang.

Pembentukan kawasan perlindungan pesisir dan lautan ini selain untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang dimiliki Riau dan menjaga keseimbangan ekosistem, juga dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Konsep yang demikian ini telah banyak dikembangkan di negara-negara maju yang dikenal dengan Conservation Enterprise.

III. KAWASAN III Kawasan Kepulauan Natuna
Kawasan ini berada di Laut Cina Selatan jauh terpisah dari Riau daratan dengan karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas cuaca dan iklim di Laut Cina Selatan. Hal ini ditandai dengan gelombang laut yang besar, perairan yang jernih, dan keberadaan ikan-ikan pelagis dengan jumlah besar. Potensi sumberdaya laut khususnya ikan–ikan pelagis pada kawasan ini masih sangat terbuka lebar. Sehingga kawasan ini dapat dijadikan sasaran penangkapan ikan dari jenis-jenis kapal besar (di atas 20 GT) yang mampu melakukan pelayaran jauh dalam waktu yang lama.

Pada Kawasan Kepulauan Natuna selain potensi sumberdaya laut, juga memiliki potensi sumberdaya non hayati seperti halnya cadangan gas dengan jumlah yang tinggi. Cadangan gas di Kepulauan Natuna ini diperkirakan mencapai 33% dari total cadangan gas yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu Natuna harus menyusun rencana pembangunan yang dilandasi oleh perencanaan pembangunan tata ruang, ekonomi, dan sosial untuk menjadikan Natuna sebagai pusat pelayanan industri gas berkualitas tinggi.


5.2. STRATEGI MENJAWAB ISU-ISU LINGKUNGAN YANG BERKEMBANG DI RIAU
1. Menyusutnya Mangrove
Mangrove banyak hidup di daerah endapan yang berada di kawasan pesisir. Luasan mangrove di Provinsi Riau sebesar 300.000 Ha ( Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Tahun 2002), sedangkan dalam hasil yang dilakukan luasan mangrove sebesar 252.558 Ha (Data cita landsat Tahun 2001). Pertumbuhan dan perkembangan mangrove membutuhkan kondisi yang khusus serta tingkat pertumbuhan dan perkembangnnya tidak secepat seperti halnya tumbuhan atau pohon di daratan. Masih terdapat areal hutan mangrove di Provinsi Riau yang dikonsesi dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Mengingat pertumbuhan dan perkembangan mangrove yang tidak dapat disamakan dengan tumbuhan dan pepohonan di areal tanah atasnya, maka konsesi yang demikian ini lebih baik tidak diteruskan dalam jangka waktu yang panjang.

Perlu dibuat peraturan yang dapat membatasi pemanfaatan hutan mangrove, sehingga mangrove tidak dieksploitasi secara besar-besaran dan terus-terusan. Peraturan ini sedapat mungkin dikoordinasikan antar berbagai fihak yang memiliki kepentingan dengan mangrove, antara lain dinas perikanan dan kelautan, dinas kehutanan, dinas perindustrian dan perdagangan, serta instansi yang menangani lingkungan hidup.

Selain tidak meneruskan konsesi mangrove oleh HPH dalam jangka panjang dan pembuatan peraturan yang membatasi pemanfaatan hutan mangrove, upaya rehabilitasi hutan mangrove juga harus terus digalakkan secara lebih intensif. Kerusakan mangrove akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem baik secara fisik maupun biologis. Upaya-upaya rehabilitasi mangrove seperti halnya di Pantai Utara Jawa (Khususnya daerah Indramayu) yang telah dilakukan oleh bernagai fihak sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Catatan demikian ini merupakan hal yang perlu dipelajari dalah hal pengelolaan mangrove mengingat besarnya fungsi mangrove dan tingginya biaya rehabilitasi.

Fungsi mangrove diantaranya adalah sebagai tempat memijah (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan-hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti ikan, kepiting, moluska, dan invertebrata air lainnya. Selain hewan-hewan air, kanopi di bagian atas hidup hewan-hewan darat seperti serangga, burung-burung pemakan ikan dan kelelawar. Menurunnya luasan hutan mangrove secara otomatis akan mengirangi keberadaan biota-biota yang menggantungkan hidup darinya. Menurunnya hasil tangkapan nelayan di Riau daratan juga secara tidak langsung diakibatkan oleh berkurangnya luasan hutan mangrove di daerah tersebut.

2. Kerusakan Terumbu Karang
Terumbu karang yang tidak dijumpai di kawasan Riau daratan dan masih terdapat dalam jumlah tertentu di Riau kepulauan dan daerah Natuna memerlukan pemantauan yang ketat dari seluruh fihak. Pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang yang sangat lambat dan sensitifitas terhadap lingkungan yang sangat tinggi membuat terumbu karang mudah mengalami kerusakan atau kepunahan.

Keberadaan terumbu karang juga merupakan jaminan keberadaan ikan-ikan karang baik ikan hias maupun ikan konsumsi dengan nilai ekonomi tinggi. Menurunnya keberadaan terumbu karang secara otomatis akan mengurangi keberadaan ikan-ikan karang tersebut. Selain itu terumbu karang juga dapat dimanfaatkan untuk wisata bahari.

Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada hakekatnya tidak selalu tetap, akan tetapi sering berubah karena adanya gangguan baik karena aktifitas alam maupun aktifitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor-faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan/atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya.

3. Pendangkalan Kawasan Pesisir dan Laut
Berubahnya bentuk pesisir pantai, pemunculan pulau-pulau di tempat-tempat tertentu, serta tidak berfungsinya beberapa pelabuhan perikanan (contoh Bagansiapiapi) merupakan beberapa contoh yang diakibatkan oleh pendangkalan kawasan pesisir dan laut. Pendangkalan yang terjadi di Riau, khusunya di Riau daratan pada dasarnya diakibatkan oleh proses sedimentasi yang terjadi secara alami. Hal ini merupakan proses alami yang terjadi dan sangat sulit bahkan tidak dapat dihindari, dalam jangka panjang bahkan akan merubah bentuk pesisir dan pulau di Riau, bahkan di Sumetera pada umumnya.

Proses pendangkalan selain terjadi secara alami diperbesar oleh aktivitas terbawa hanyutnya bermacam-macam endapan dari tamah atas melalui sungai (run off) akibat pengelolaan tanah atas (up land) yang kurang bijak. Aktivitas pengelolaan lahan atas mengakibatkan tidak kokohnya struktur tanah yang menyusun daratan Riau tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga semakin memperbesar kandungan tanah yang terlarut dan hanyut terbawa air sungai.

Di daerah daratan Propinsi Riau terdapat lebih dari 15 sungai besar yang semuanya bermuara di Pantai Timur Propinsi Riau. Diantara sungai-sungai tersebut ada empat sungai yang mempunyai arti penting sebagai prasarana perhubungan dan kegiatan lainnya, seperti Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Kampar, dan Sungai Indragiri. Sungai-sungai tersebut memiliki anak-anak sungai yang cukup banyak dan membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS-DAS tersebut tersebar di seluruh kabupaten. Keempat sungai tersebut mengalir dari Pegunungan dataran tinggi Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Pendangkalan yang terjadi di Riau merupakan proses alami yang tidak dapat dihindarkan, tetapi laju pendangkalan tersebut hanya dapat dikurangi. Yang dapat dilakukan adalah bagaimana dapat memanfaatkan kondisi yang demikian itu. Upaya-upaya mengurangi pendangkalan yang terjadi di Riau dapat dilakukan dengan koordinasi atau manajemen terpadu dengan pengelola lahan atas.

4. Penambangan Pasir Laut
Permasalahan penambangan pasir laut merupakan isu yang telah menganngkat ke permukaan secata nasional yang permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Provinsi Riau saja tetapi juga menjadi masalah di beberapa wilayah lain pada saat ini. Kegiatan penambangan pasir dilakukan baik secara legal maupun illegal di Riau. Sebagian besar permintaan pasir laut berasal dari Singapura dan Malaysia juga membutuhkan pasir laut dalam jumlah besar. Tambang pasir di Karimun dan kepulauan dibatasi oleh pemerintah pusat dan upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Propinsi. Sehingga pengelolaan sumberdaya berupa pasir laut yang dulunya dikelola oleh daerah sementara ini diambil alih oleh tingkat provinsi, bahkan dihentikan sementara oleh pemerintah secara nasional.

Secara proses pasir laut yang berada di Provinsi Riau berasal dari laut itu sendiri dan terbawa hanyut dari daratan secara alami. Kegiatan penambangan pasir di Riau tidak memiliki reputasi yang baik. Beberapa tahun terakhir kegiatan penambangan pasir ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan kelautan yang nyaris tidak membawa manfaat pada masyarakat setempat atau keuntungan tertentu bagi keuangan publik lokal. Beberapa kepentingan komersial, permasalahan lingkungan, dan kesiapan untuk mengurangi pertambangan liar dan penyelundupan yang merebak (sedikitnya di beberapa tempat) menyebabkan pemerintah pusat mencabut wewenang pemerintahan Propinsi Riau untuk mengatur usaha ini.

Tidak semua tambang pasir illegal. Sebagian konsesi besar telah dikeluarkan, secara tidak jelas – sangat mirip dengan penerbitan konsesi kehutanan di wilayah Riau Daratan. Disamping itu, untuk kabupaten kecil seperti Karimun, tambang pasir memberikan kontribusi penting bagi pendapatan pemerintah setempat. Perusakan lingkungan laut telah mendapatkan kecaman luas sebelum pemerintah pusat turun tangan. Namun insentif, baik secara formal maupun kriminal, akan tetap ada karena permintaan pasir tinggi dalam beberapa tahun mendatang.

Polemik penambangan pasir terjadi antara kepentingan untuk memperoleh pendapatan dari penjualan pasir laut yang banyak tersedia di alam, di sisi lain penambangan pasir laut membawa efek negatif terhadap kelangsungan biota laut seperti halnya padang lamun, terumbu karang, ikan, dan biota lainnya yang terdapat di daerah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan ini, seperti halnya membuat neraca sumberdaya yang menerangkan keuntungan ekonomis yang didapatkan dari aktivitas penambangan pasir laut dengan efek kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Sehingga permasalahan ini dapat diselesaikan secar tuntas tanpa harus mengakibatkan ketidak puasan pihak-pihak yang berkaitan akibat kurangnya informasi terhadap masalah tersebut.

5. Batas Wilayah Perairan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang membawa konsekuensi pada pemberian wewenang daerah untuk mengelola potensi sumberdayanya, juga membawa akibat pembagian wilayah/batas wilayah perairan antar daerah.

Pembagian wilayah/batas wilayah sampai tingkat daerah (kabupeten/kota) dipandang sangat sulit diterapkan di Riau, mengingat Riau juga memiliki daerah kepulauan dalam jumlah yang banyak, yakni meliputi 3.214 pulau besar dan kecil. Sehingga jarak laut antara pulau satu dan pulau lain adakalanya tumpang tindih antara pulau yang masuk dalam administratif kabupaten/kota tertentu dengan kabupaten/kota yang lainnya. Selain itu wilayah/batas wilayah ini juga tidak berbentuk fisik dan bersifat imaginer.

Sistem pengaturan zona tangkap sering dilanggar oleh para nelayan, sehingga nelayan dari daerah lain sering melakukan kegiatan penangkapan di luar zona penangkapnnya. Konflik sosial yang juga sering terjadi adalah perebutan daerah tangkapan antar nelayan. Perebutan daerah tangkap ini tidak hanya terjadi antar provinsi atau kabupaten, tapi konflik ini sudah tersegmen menjadi antar kecamatan. Permasalahan sosial akibat zonasi ini sudah mengakibatkan bentokan fisik antar nelayan bahkan sudah terjadi bakar membakar kapal nelayan.

Mensiasati hal tersebut, maka zonasi laut tidak lagi dilihat per kabupaten/kota, tetapi dilihat secara tingkat provinsi. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi permasalahan-permasalahan zonasi di atas. Nelayan terbiasa mengelana mencari ikan tangkapan yang sering keluar dari daerah tangkapnnya, mengingat ikan sendiri merupakan makhluk hidup yang bergerak dari perairan satu ke perairan lainnya.

Dengan menerapkan zonasi wilayah laut secara tingkat provinsi bukan berarti zonasi untuk alat tangkap dihapuskan, zonasi untuk alat tangkap harus tetap diterapkan untuk pemanfaatan sumberdaya laut secara optimal. Penerapan zonasi ini memerlukan pemahaman dan kespakatan dari tiap daerah untuk penerapannya.

5.3. PERANGKAT PERANGKAT YANG DIPERLUKAN
Prasyarat keberhasilan pembangunan kawasan pesisir adalah apabila dapat tercapai kondisi ketangguhan yang dicirikan oleh kemampuan aparat pemerintah/pemerintah daerah, nelayan, serta lembaga ekonomi dan sosial yang mantap. Untuk itu perlu disusun strategi pengembangan yang mencakup 3 perangkat, yaitu: (1) perangkat kendali sebagai rambu-rambu, (2) perangkat pendukung sebagai instrumen, dan (3) perangkat operasional sebagai jurus.
5.3.1. Perangkat Kendali
1. Falsafah Pengembangan Perikanan
Sejalan dengan semangat reformasi yang sedang berkembang, maka dibutuhkan reorientasi falsafah pembangunan perikanan yang semula hanya dititik beratkan pada aspek peningkatan produksi, baik melalui budidaya maupun tangkap, kini harus diperluas menjadi perikanan sebagai industri biologis yang dikendalikan manusia. Untuk itu ada 4 komponen yang merupakan falsafah dasar pembangunan perikanan, yakni:
a. Nelayan/Petambak sebagai subyek, yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
b. Ikan sebagai obyek, yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya.
c. Perairan serta lingkungan sebagai basis ekologi tempat hidup (habitat) dan lingkungan budidaya yang berkelanjutan (sustainable).
d. Teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
2. Pembinaan Sesuai Tipologi Usaha
Pembinaan pengembangan usaha perikanan harus disesuaikan terhadap tipologi usaha perikanan yang ada. Secara tipologis usaha perikanan di perairan Provinsi Riau dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipologi, yakni (1) usaha sambilan, (2) cabang usaha, (3) usaha pokok, dan (4) usaha industri. Meskipun tipologi 3 dan 4 secara kuantitas masih tergolong kecil, namun kecenderungannya terus meningkat, sehingga perlu perhatian.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka peranan pemerintah daerah dalam pembangunan perikanan, yaitu sebagai pengatur (regulator), pelayan (fasilitator), dan agen pembaharuan pembangunan (motivator). Untuk itu pada tingkat usaha industri, peranan pemerintah/pemerintah daerah sebatas sebagai pengatur saja, pada tingkat usaha pokok peranan pemerintah berupa pengaturan dan pelayanan, dan pada tingkat usaha sambilan dan cabang usaha peranan pemerintah dituntut lebih besar lagi.
3. Pendekatan
Sesuai tuntutan pembangunan yang sedang berkembang, maka pelaksanaan pembangunan perikanan dilakukan melalui 3 evolusi pendekatan, yaitu: pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.
4. Pola Usaha
Pembinaan usaha perikanan di Provinsi Riau dapat dilakukan melalui tiga (3) pola, yaitu:
1. Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) Perikanan
2. Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR),
3. Pola Swadana

6.3.2 Perangkat Pendukung
1. Anggaran Pembangunan
2. Sumberdaya Manusia
3. Kelembagaan
4. Peraturan, Perundang-Undangan, dan PERDA

6.3.3 Perangkat Operasional
Guna meningkatkan kelancaran program pembangunan kawasan pesisir dan lautan di Riau, maka diperlukan perangkat operasional yang mengacu pada 7 aspek, yaitu: (1) Kuantitas, (2) Kualitas, (3) Efisiensi, (4) Teknologi, (5) Pemasaran, (6) Konsumsi, dan (7) Perilaku.


VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 KESIMPULAN
Potensi kawasan laut dan pesisir di Provinsi Riau sangat besar baik sumberdaya hayati maupun non-hayati, di sebagian wilayah masih menunjukkan belum termanfaatkan secara optimal, tetapi di wilayah yang lain telah dilakukan melebihi kapasitas optimal. Wilayah pesisir dan lautan yang belum termanfaatkan berada pada kawasan yang jauh dari aktifitas penduduk dan industri, diantaranya di daerah kepulauan perairan lepas dan laut lepas, seperti di Laut Cina Selatan dan Riau kepulauan. Sedangkan wilayah yang telah mengalami pemanfaatan melebihi kapasitas lestari lingkungan terjadi di daerah dekat pemukiman penduduk, aktifitas perkotaan, dan industri.

Aktifitas-aktifitas di kawasan daratan dan perairan membawa dampak yang sangat besar terhadap keseimbangan ekosisitem di kawasan pesisir dan lautan. Pembukaan kawasan penyangga dan konservasi oleh aktivitas aktifitas illegal loging, illegal fishing, kebakaran hutan, dan pembuangan limbah diperairan merupakan penyebab penurunan kualitas lingkungan di daerah pesisir dan lautan.

Pengembangan kawasan pesisir dan lautan di Provinsi Riau dapat dikembangkan dengan memperhatikan beberapa aspek, antara lain: kondisi tipologi lingkungan ekosistem, geografis, keberadaan potensi sumberdaya yang dimiliki, dan perkembangan kondisi kawasan sekitarnya. Aspek-aspek tersebut harus dapat dirangkai dan dicari titik temunya, sehingga pembangunan kawasan yang akan dikembangkan menjadi tepat fungsi dan tepat sasaran.


6.2 REKOMENDASI
Dari hasil studi identifikasi potensi kawasan pesisir dan lautan di Provinsi Riau dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
I. Pembangunan kawasan pesisir dan lautan di Provinsi Riau dapat dibagi menjadi tiga kawasan:
1. Kawasan Riau Daratan (Indragiri Hilir, Pelalawan, Bengkalis, Dumai, dan Rokan Hilir), dengan mengarahkan aktivitas penangkapan ke arah budidaya dan mengusahakan adanya industri pengolahan ikan.
2. Kawasan Riau Kepulauan (Batam, Karimun, dan Kepulauan Riau), dengan mengarahkan pembangunan pada kawasan perlindungan pesisir dan laut (marine protect area) yang meliputi kawasan perlindungan mangrove, padang lamun, ikan-ikan karang, dan terumbu karang di daerah Batam, Rempang, dan Galang. Sekaligus pada kawasan ini dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari menggunakan konsep Conservation Enterprise. Selain itu juga diarahkan pada budidaya ikan-ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan keberadaan ikan-ikan hias merupakan daya tarik tersendiri yang perlu dikembangkan.
3. Kawasan Kepulauan Natuna, dengan mengarahkan kawasan ini sebagai kawasan penangkapan ikan dari jenis-jenis kapal besar yang mampu melakukan pelayaran jauh dalam waktu yang lama. Hal ini juda dapat memanfaatkan sumberdaya laut berupa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 379.000 kilometer2 yang dimiliki Provinsi Riau.

II. Program pemanaatan sumberdaya pesisir dan lautan dapat mengacu pada penitikberatan pada aspek: (1) Aspek Penurunan Kualitas Lingkungan, (2) Aspek Sumberdaya Manusia, (3) Aspek Penguasan Teknologi, (4) Aspek Sosial, dan (5) Aspek Permodalan.

III. Keseimbangan antara tercapainya kelestarian lingkungan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup harus dilakukan secara proporsional dan seimbang guna tercapainya kelestarian sumberdaya alam yang bekelanjutan guna mencapai kesejahteraan masyarakat.

IV. Perhatian pembangunan pada kawasan pesisir dan lautan selain tercapainya kualitas sumberdaya alam yang lestari juga harus dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pelaku utama di kawasan tersebut, yakni para nelayan.


­__________________

Analisis dan Reformulasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Indonesia


ANALISIS DAN REFORMULASI KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DI INDONESIA
Tonny F. Kurniawan
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara maritim, dimana tiga per empat berupa laut (5,8 juta km2). Panjang garis pantai tropis terpanjang kedua (setelah Kanada). Dengan bentang wilayah Indonesia dari ujung Barat (Sabang) dan timur (Merauke) setara dengan London sampai Bagdad. Bentang ujung utara (Kep. Satal) dan selatan (P. Rote) setara dengan jarak negara Jerman sampai negara Al-Ajazair. [1]

Laut mengandung potensi ekonomi (pembangunan) sangat besar dan beragam. Kontribusiya terhadap GDP senilai 28 milyar (1988) atau 20 %. Lebih rendah bila dibandingkan dengan Korea Selatan dengan panjang pantai 2.713 Km dengan kontribusinya 147 milyar (1992) atau 37% (Dutton dan Hotta, 1999). Nilai ekspor perikanan sebesar US $ 1,76 milyar (1998) dengan nilai rumput laut (US $ 45 juta), lebih rendah bila dibandingkan dengan Thailand sebesar US $ 4,2 milyar dengan panjang pantai 2.600 km. Apabila optimal dalam pendayagunaan sumber daya laut, maka potensi ini akan mampu memberikan kontribusi yang besar dalam melunasi hutang-hutang luar negeri bangsa ini.

Sumber kelautan sebagian besar renewable resources ( Ikan demersal, ikan pelagis, sea weed dan biota lainnya) sebagai basis pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,18 juta ton pertahun, ikan demersal 1,78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.[2]

Secara sosial kultural, kembali fokus ke laut berarti reinventions kejayaan Indonesia pada masa lalu. Pada masa kolonial Belanda, arah kebijakan lebih banyak ditujukan pada pertanian, dan orientasi pada maritim (laut) ditinggalkan, karena pemerintah kolonial sadar bangsa Indonesia akan berjaya seperti pada kerajaan Sriwijaya. dan Majapahit.

Sensus penduduk tahun 2000 menujukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumah tangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut termasuk pesisir tentunya. Jumlah penduduk yang besar ini tidak banyak mendapat perhatian dari pemerintah.

2. PERUMUSAN MASALAH
2.1 Aspek Sumberdaya Manusia
Dalam Human Development Report 2003 yang dipublikasikan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), terungkap bahwa indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari 0,684 (pada HDR 2002) menjadi 0,682 (pada HDR 2003). Tak pelak, akibat penurunan ini, peringkat HDI Indonesia dari 175 negara yang diperingkat, turun dari peringkat 110 (pada HDR 2002) menjadi 112 (pada HDR 2003). Posisi HDI Indonesia ini jauh di bawah posisi negara-negara ASEAN lainnya Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnem. Posisi HDI Indonesia ini hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar.[3]

Harapan hidup orang Indonesia pada waktu lahir sekitar 66 tahun. Harapan hidup orang Singapura Malaysia dan Thailand berturut-turut lebih tinggi 11, 6 dan 4 tahun. Hampir 50 dari 1000 anak Indonesia yang baru lahir tidak akan bertahan sampai umur 5 tahun; tingkat kematian di bawah usia lima tahun di Malaysia dan Thailand berturut-turut 9 dan 29. Tingkat kematian ibu Indonesia 380 setiap 100 ribu kelahiran hidup, sangat tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang hanya sekitar 40-an; angka untuk Singapura hanya 6.

Data dari beberapa referensi menunjukkan bahwa pada (Tahun 2002) angka partisipasi sekolah anak-anak nelayan untuk pendidikan tingkat SLTP baru merncapai 60 %, dan SLTA baru mencapai 30 % (Tahun 2002)[4]. Dengan kondisi yang demikian maka dalam jangka panjang pendidikan untuk masyarakat nelayan perlu menjamin agar angka partisipasi sekolah khususnya SLTA dapat dicapai menjadi sekurang-kurangnya 80 %, hal ini berarti 50 % dari anak SLTP saat ini dan 30 % anak usia SLTP menjadi target group dalam pengembangan pelayanan pendidikan. Fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu anak anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orang tua mereka untuk kelaut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anak nelayan.

Disamping itu pada aspek kesehatan, nelayan relatif lebih beresiko terhadap munculnya masalah kesehatan seperti kekurangan gizi, diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), yang disebabkan karena persoalan lingkunan seperti sanitasi, air bersih, indoor pollution, serta minimnya prasaran kesehatan seperti Puskesmas ataupun pos yandu yang tidak digunakan secara optimal.

Di sisi lain kualitas sumberdaya manusia dari birokrasi yang mengelola/memanajemen sumberdaya kelautan dan perikanan masih memiliki persoalan dalam moral hazard. Tingginya angka korupsi kolusi dan nepotisme dalam praktek pemerintahan semakin memperlambat jalannya pembagunan mensejahterakan kaum nelayan.

2.2 Aspek Permodalan, Industri, dan Pasar
Selama ini, banyak masalah dan kendala yang menghadang para petani dan nelayan sebagai pelaku agrobisnis. Masalah paling strategis yang dihadapi oleh petani kita adalah akses terhadap modal/kapital. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan, dengan adanya modal kerja maka usaha agroindustri rumahan di pedesaan dapat berkembang dengan baik. Ribuan atau bahkan jutaan usaha agrobisnis akan dapat berkembang dan menyerap banyak tenaga kerja manakala tersedia modal yang mudah diakses disertai sedikit pelatihan manajemen.

Permasalahan klasik para nelayan di seluruh wilayah Indonesia sebagian besar nelayan masih terjebak kepada para tengkulak. Kurang berfungsinya pelabuhan pendaratan ikan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan SPBU khusus nelayan, dikarenakan nelayan masih terikat kontrak perjanjian untuk menjual hasil tangkapannya dan mendapatkan sarana dan prasarana produksi perikanan dengan para tengkulak. Hutang nelayan kepada tengkulak berjalan hampir seumur hidup dan diwariskan kepada anak dan penerus mereka. Nelayan Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki hutang kepada tengkulan rata-rata per pemilik kapal Rp 4 juta sampai Rp 10 juta. Walaupun para tengkulak juga memiliki jasa kepada para nelayan di saat belum ada lembaga permodalan yang mampu mereka akses.[5]

Selain itu kondisi dan stuktur keberadaan sektor industri Indonesia saat ini masih memiliki sejumlah kelemahan struktural yang sangat penting sejak sebelum krisis ekonomi. Pertama, struktur industri yang dangkal (shallow) sehingga industri manufakturing tidak lebih dari sekedar industri asembling dan foot-loose industries.[6]
Kedua, tingkat daya saing (competitiveness) dan produktifitas yang rendah karena ekonomi biaya tinggi, mark-up investasi, kebijakan industrialisasi tanpa arah, kelemahan manajemen, dsb.
Ketiga, struktur industri yang sangat timpang, dimana sebagian besar industri dikuasai oleh konglomerasi tanpa fokus dan rendahnya backward dan forward lingkages antara usaha skala menengah dan kecil.

2.3 Aspek Sarana dan Prasarana
Naiknya harga sarana dan prasarana produksi perikanan sehingga meningkatkan biaya operasional melaut. Kenaikan harga BBM (solar) mengakibatkan sebagian besar nelayan mengeluhkan mahalnya operasional melaut, bahkan banyak nelayan yang berhenti melaut karena tidak mampu lagi membiayai operasional ke laut. Nelayan Demak, Jepara, dan Rembang sudah menjadi hal keseharian mengisi mesin motor perahunya dengan minyak tanah tanpa perlu mencampurnya dengan solar. Nelayan di daerah-daerah tersebut mendapatkan minyak pelumas mesin perahu motornya dengan harga Rp 1.500 – Rp 2.000 per liter pelumas bekas dari bengkel motor di sekitarnya.

Menyempitnya areal tangkap dan hak pencarian kehidupan nelayan karena tergusur kepentingan pembangunan sektor lain guna mengejar pertumbuhan pembangunan ekonomi atau kepentingan fihak-fihak tertentu. Seperti rencana relokasi nelayan Jepara karena pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di perairan laut daerah Jepara yang pendiriannya tanpa dilakukan musyawarah dan pemberitahuan terlebih dahulu kepada nelayan dan penduduk setempat.

Belum lagi kasus-kasus penggusuran kampung nelayan seperti penggusuran 206 keluarga Nelayan Ancol Timur pada th 2001. Tanah timbul (tanah hasil sedimentasi), yang sudah ditempati nelayan selama 51 th, sejak th 1950. Untuk olah raga air Yacht Club milik PT. Bahtera Sejahtera, Nelayan sudah mengalami 5 kali penggusuran tanpa ganti rugi.

Penggusuran 90 keluarga di Kampung Catering, Jl. Pipa, Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara th 2003. Warga membeli tanah yg ditempati seharga Rp 9 juta per 36 m2 pada pihak pengelola dan lurah setempat. Ketika membeli tanah, warga diminta pihak pengelola tanah dan lurah untuk membangun secara permanen. Sedangkan status dan kondisi warga yang menempati daerah tersebut telah memiliki fasilitas Listrik dan PDAM masuk secara resmi, 70% warga ber-KTP DKI, tetapi penggusuran tetap dilakukan tanpa ganti rugi.

Penggusuran 1.780 KK Kel. Marunda, Jakarta Utara. Warga mendiami lahan tidur seluas 75 hektar atas ijin walikota dengan membayar Rp 400.000 – Rp 6 juta. Lahan akan digunakan untuk kepentingan industri di Kawasan Berikat Nusantara. Warga diusir paksa oleh aparat terpadu atas permintaan pihak KBN.

Belum lagi beberapa waktu lalu di akhir tahun 2003 ratusan nelayan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara yang terusir dari tempat tinggalnya oleh Pemerintah DKI. Secuil tanah timbul di Ancol Timur puluhan tahun lamanya menjadi tempat bermukim bagi ratusan nelayan miskin. Secuil tanah hasil sedimentasi itu ibarat nyawa bagi ratusan nelayan. Namun nyawa itu direnggut begitu saja oleh pemerintah untuk diserahkan kepada pengusaha demi kepentingan bisnis olah raga air. [7]

2.4 Aspek Sosial
Permasalahan yang berkembang mengenai petani dan nelayan, yang berdampak pada pencapaian tingkat keberhasilan pembangunan sektor pertanian serta perikanan dan kelautan di Indonesia bermuara pada belum berpihaknya pembangunan yang dilakukan kepada petani dan nelayan. Belum ada undang-undang yang melindungi hak-hak para petani dan nelayan yang jumlahnya lebih dari setengah warga negara Indonesia. Sehingga kaum petani dan nelayan selalu menjadi kaum yang tertindas dan dieksploitir dalam pencapaian target pembangunan ekonomi Indonesia.

Menurunnya harga-harga produk petani dan nelayan akibat kebijakan impor luar negeri yang tidak terkontrol (misal: kebijakan impor garam dari Australia, India, dan Amerika). Perlu ada pengaturan bahkan proteksi produk-produk tertentu yang di dalam negeri terdapat dalam jumlah banyak dan diusahakan oleh hajat hidup orang banyak.

Rendahnya tanggung jawab pemerintah dalam pembinaan mutu dan kuantitas produk-produk perikanan sehingga kurang mampu bersaing dengan barang dari negara lain. Mengingat sifat produk dan produkasi perikanan memiliki produktifitas musiman, diversifikasi produk sangat minim serta kualitas dan standar produk yang rendah. Rendahnya pembinaan mutu dan kuantitas produk-produk perikanan terlihat dari rendahnya perhatian, pengetahuan, dan penguasaan serta penerapan IPTEK kelautan masih rendah dari aparat pembina.

Nelayan dengan keterbatasan tingkat pendidikan, perolehan informasi, waktu untuk interaksi sosial, mengakibatkan susah untuk membentuk wadah-wadah atau organisasi yang dapat mengatur dan menguatkan posisi tawar mereka. Telah muncul kelembagaan atau organisasi di tingkat lokal seperti KUD, dan nasional seperti HNSI, tetapi keberadaan lembaga tersebut belum mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Bahkan lembaga-lembaga tersebut sering bungkam menyuarakan keluhan-keluhan nelayan di saat nelayan sedang menjerit dan kesusahan. Sering pula permasalahan nelayan hanya dijadikan bahan diskusi dan komoditas politik tanpa membawa pengaruh langsung pada masyarakat nelayan.

Sistem pengaturan zona tangkap sering dilanggar oleh para nelayan, sehingga nelayan dari daerah lain sering melakukan kegiatan penangkapan di luar zona penangkapnnya. Konflik sosial yang juga sering terjadi adalah perebutan daerah tangkapan antar nelayan. Perebutan daerah tangkap ini tidak hanya terjadi antar provinsi atau kabupaten, tapi konflik ini sudah tersegmen menjadi antar kecamatan. Permasalahan sosial akibat zonasi ini sudah mengakibatkan bentokan fisik antar nelayan di Kabupaten Bengkalis, Riau bahkan sudah terjadi bakar membakar kapal nelayan.

2.5 Aspek Sumberdaya Alam
Pemanfaatan sumberdaya laut baik hayati dan non hayati harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sehingga senantiasa terjamin kelangsungannya (sustainable). Pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, penyusutan hutan magrove, kerusakan padang lamun dan terumbu karang, pendangkalan dan sediemtasi yang tak terkontrok merupakan fenonema lingkungan di sektor perikanan dan kelautan. Bahkan masih berlangsung konsesi hutan mangrove oleh aktivitas Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh swasta di Indragiri Hilir, Riau yang semestinya tidak dilakukan.[8]

Permasalahan lain yang timbul diantaranya adalah penambangan pasir laut yang isunya telah mengangkat ke permukaan secara nasional yang permasalahan tersebut terjadi di beberapa provinsi seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Kegiatan penambangan pasir dilakukan baik secara legal maupun illegal. Sebagian besar permintaan pasir laut berasal dari Singapura dan Malaysia juga membutuhkan pasir laut dalam jumlah besar. Tambang pasir di Karimun dan kepulauan dibatasi oleh pemerintah pusat dan upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi. Sehingga pengelolaan sumberdaya berupa pasir laut yang dulunya dikelola oleh daerah sementara ini diambil alih oleh tingkat provinsi, bahkan dihentikan sementara oleh pemerintah secara nasional.

Secara proses beberapa pakar pesisir dan lautan berpendapat pasir laut berasal dari laut itu sendiri dan terbawa hanyut dari daratan secara alami. Beberapa tahun terakhir kegiatan penambangan pasir ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan kelautan yang nyaris tidak membawa manfaat pada masyarakat setempat atau keuntungan tertentu bagi keuangan publik lokal. Tidak semua tambang pasir illegal. Sebagian konsesi besar telah dikeluarkan, secara tidak jelas – sangat mirip dengan penerbitan konsesi kehutanan. Disamping itu, untuk kabupaten kecil seperti Karimun, tambang pasir memberikan kontribusi penting bagi pendapatan pemerintah setempat. Perusakan lingkungan laut telah mendapatkan kecaman luas sebelum Pemerintah Pusat turun tangan. Namun insentif, baik secara formal maupun kriminal, akan tetap ada karena permintaan pasir tinggi dalam beberapa tahun mendatang.


3. PENDEKATAN KEBIJAKAN
Sumberdaya laut Indonesia bila dikelola dengan baik, akan dapat menjadikannya sebagai penyumbang perekonomian negara yang besar, gambaran sektor kelautan dan kehidupan nelayan Indonesia seharusnya tidak seburuk apa yang seperti terjadi saat ini. Ini mengingat, sebagai negara maritim yang tiga per empat berupa laut (5,8 juta km2), kaya akan sumber daya (resources) baik hayati maupun non hayati, Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan menjadi kekuatan riil bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Situasi yang kontras antara kondisi sektor kelautan dan kehidupan nelayan Indonesia saat ini dengan potensi kelautan Indonesia, sesungguhnya tidak lain disebabkan oleh buruknya tata kelola (bad governance) atas laut Indonesia. Penyebab dari kurang mantapnya tata kelola kelautan Indonesia ini antara lain berasal dari sistem pembangunan kelautan Indonesia yang tidak bebas dari praktek-praktek gambling, spekulatif, tidak aspiratif, kurang koordinasi antar lintas sektor, pengelola yang tidak amanah, dan lain sebagainya.

Disamping itu, kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan negara sejak Orde Baru hingga saat ini, ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan, tampaknya masih dibangun dengan konsep yang masih mengekploitir sumberdaya perikanan dan kelautan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran utama, sementara aspek pemerataan dan keadilan, serta kesejahtetaan dan peningkatan taraf hidup pelaku utama perikanan dan kelautan (nelayan) menduduki peringkat yang kurang mendapat penekanan. Hal ini dicirikan oleh permasalahan pembangunan perikanan dan kelautan kebanyakan masih menghadapi persoalan yang bersifat klasik dari tahun ke tahun sampai saat ini.

Penakanan pembangunan perikanan dan kelautan kepada eksploitasi sumberdaya laut yang dilakukan secara besar-besaran secara belum merata mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem lingkungan. Walaupun penurunan kualitas ekosistem laut juga diakibatkan pengelolaan di darat (misal: pembuangan limbah, dan sedimentasi). Eksploitasi besar-besaran sehingga membawa akibat pada penurunan kualitas ekosistem lingkungan, tetapi belum mampu mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan pelaku utama sektor kelautan, yakni nelayan. Ironisnya lagi penurunan kualitas lingkungan akibat eksploitasi secara terus menerus dan besar-besaran di beberapa lokasi perairan, tetapi di perairan lainnya malah terjadi illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing.[9]

Berdasarkan realitas di atas, maka perlu adanya perubahan yang radikal di dalam kebijakan pembangunan sektor perikanan dan kelautan di masa mendatang. Pendekatan pembangunan yang sentralistik, mengutamakan materi dengan ukuran utama peningkatan pendapatan perkapita, mengabaikan kesejahteraan pelaku utama sektor perikanan dan kelautan adalah hal yang tidak boleh dilanjutkan. Ini mengingat, pendekatan yang demikian ini telah melecehkan manusia dan menganggap modal sebagai sumber utama pertumbuhan dengan konsekuensi yang amat merugikan dan menjauhkan bangsa dari pencapaian tujuan kemerdekaan. Pendekatan perumusan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia dapat didekati dengan:

Pertama, visi kebijakan pembangunan kelautan harus dilandasi oleh semangat rasa syukur kita terhadap Allah SWT atas karunia sumber daya (resources) perikanan dan kelautan yang begitu besar kepada bangsa Indonesia. Sebagai perwujudan rasa syukur atas karunia Ilahi ini, maka perlu menempatkan prioritas pertama pada peningkatan taraf hidup nelayan sebagai pelaku utama pembangunan sektor perikanan dan kelautan.

Kedua, tuntutan dikembangkan tata kelola yang baik (good governance) atas perikanan dan kelautan Indonesia di masa mendatang. Dan sebagai perwujudan untuk mengembangkan good governance tersebut, perlu adanya upaya mewujudkan sistem pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia yang direncanakan dan ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan dukungan regulasi, pedoman teknis dan standar operasional kerja yang akomodatif, jelas dan kondusif, bebas dari praktek spekulatif, serta menempatkan para pengelola ekonomi yang amanah, jujur, dan kompenten.

Ketiga, pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia perlu dikembangkan dengan pendekatan bersifat kelembagaan yang holistik dan komprehensif. Ini berarti tujuan dan nilai-nilai dasar operasional dari kegiatan-kegiatan pembangunan bertumpu pada manusia termasuk nilai-nilai moral yang dianut. Semua kelembagaan pembangunan Indonesia yang bergerak di semua sektor dan daerah perlu melaksanakan transformasi diri secepat mungkin sehingga mampu mengemban tugas membawa seluruh bangsa ke suatu trayektori perkembangan yang akan menyelesaikan masalah struktural seperti korupsi, pengangguran, dan kemiskinan; dan sekaligus menempatkan bangsa ini ke suatu posisi yang penuh daya saing, bermartabat, dan kuat secara moral, ekonomi dan sosial. Ini berarti, transformasi itu secara horisontal perlu menyeluruh; tidak bisa menyangkut hanya satu atau beberapa bidang saja seperti ekonomi saja, atau hukum saja, politik saja, atau hukum dan ekonomi saja.

4. PERUMUSAN KEBIJAKAN
Kesejahteraan merupakan kata kunci sekaligus tujuan utama dari kebijakan yang diformulasikan, Kesejahteraan nelayan dapat dicapai apabila aspek-aspek (sumberdaya manusia, permodalan, sosial, sumberdaya alam, fisik sarana dan prasarana) mengalami perningkatan yang semakin besar dirasakan oleh nelayan. Hubungan kelima aspek dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan dapat divisualisasikan sebagai segi lima sama sisi (pentagonal) yang berubah dari ukuran kecil ke ukuran yang lebih besar.

4.1 Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Indonesia
Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilakukan haruslah mampu meningkatkan kesejahteraan para nelayan sebagai aktor utama pembangunan tersebut.

4.2 Menyusun Undang-Undang Perlindungan Petani dan Nelayan
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali sangat merugikan nelayan sebagai pelaku utamanya. Semakin menurunnya generasi muda yang mau meneruskan profesi sebagai nelayan telah banyak dialami di berbagai lokasi. Mereka sebagian besar beralih dengan memilih profesi sebagai buruh pabrik, sedangkan untuk mendapatkannya harus bersaing dengan banyak peminat, belum lagi permasalahan dalam sisitem perburuhan di Indonesia yang sebagian besar masih berfihak kepada pemilik capital. Hal ini mengakibatkan mereka juga beralih ke sektor-sektor informal dengan menjadi pedagang asongan dan pedagang kaki lima yang sering menimbulkan permasalahan baru. Belum ada undang-undang yang melindungi hak-hak para petani dan nelayan yang jumlahnya lebih dari setengah warga negara Indonesia. Sehingga kaum petani dan nelayan selalu menjadi kaum yang tertindas dan dieksploitir dalam pencapaian target pembangunan ekonomi Indonesia. Pada tahap lebih lanjut dengan semakin sedikitnya jumlah orang yang beminat menjadi petani dan nelayan, sedangkan keberadaan sumberdaya Indonesia yang melimpah, mengakibatkan produktifitas secara makro akan menurun.

4.3 Penguatan Kelembagaan Nelayan di Tingkat Lokal sampai Nasional
Pemasalahan nelayan yang telah banyak dibicarakan dalam berbagai forum diskusi atau seminar yang dilakukan oleh berbagai lembaga belumlah menunjukkan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan kaum nelayan. Bahkan keberadaan lembaga atau organisasi yang mengatas namakan perjuangan nelayan sering digunakan untuk berbagai kepentingan politik atau untuk mendapatkan garapan proyek yang manfaatnya tidak dirasakan oleh nelayan itu sendiri.

Lembaga yang terbentuk diarahkan berfungsi sebagai intermediasi, memfasilitasi terjalinnya jalinan koordinasi, komunikasi, dan informasi antara masyarakat nelayan dengan:
a. Sesama nelayan
b. Pemerintah, parlemen dan instansi terkait
c. Lembaga investasi dan permodalan
d. Lembaga pendidikan dan pelatihan
e. Media informasi publik

4.4 Pelaksanaan Desentralisasi Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan
Desentralisasi sektor perikanan dan kelautan ini memiliki dua dimensi kebijakan yang sangat penting.
Pertama, bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk membina para nelayan di daerahnya. Artinya, jika selama ini tanggung jawab untuk membina para nelayan berada pada Pemerintah Pusat, maka sejalan dengan desentralisasi sektor perikanan dan kelautan ini, kewajiban tersebut seharusnya dibebankan pada Pemerintah Daerah. Hal ini masih ditandai dengan program-program pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan nelayan sebagian besar berasal dari Pemerintah Pusat.

Kedua, bahwa Pemerintah Daerah diberikan wewenang yang utuh untuk membangun sektor perikanan dan kelautannya sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Dengan demikian, campur tangan pembangunan subsektoral oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana pada era Orde Baru, seharusnya sudah ditinggalkan. Hal ini juga diharapkan akan meningkatnya pemerataan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan.

4.5 Kebijakan Permodalan bagi Sektor Perikanan dan Kelautan, Urgensi Pendirian Bank Petani dan Nelayan
Perlu bagi Indonesia untuk memiliki bank petani dan nelayan. Tujuan dari pendirian Bank Petani dan Nelayan ini adalah untuk melayani para petani dan nelayan kita dalam memudahkan akses modal. Kalangan perbankan beranggapan untuk menanamkan investasi ke sektor perikanan memiliki faktor resiko yang tinggi. Kalangan perbankan konvensional belum dapat memahami pola-pola yang selama ini dijalankan oleh para nelayan, sehingga pola-pola yang dilakukan nelayan tidak masuk dalam lima standar yang biasanya diterapkan oleh perbankan. Beberapa negara yang telah memiliki bank petani dan nelayan diantaranya: Malaysia mempunyai Bank Pertanian Malaysia (BPM), Thailand memiliki Bank of Agriculture and Agriculture Cooperative (BAAC), Eropa punya Rabo Bank yang dimiliki oleh koperasi, Amerika Serikat dan Filipina punya Land Bank. Adanya bank petani dan nelayan ini juga perlu untuk menghindari penyalahgunaan penyaluran kredit pemerintah untuk kepentingan lain.

4.6 Penataan Struktur Pasar dan Lingkungan Usaha
Penataan Struktur Dan Lingkungan Usaha, melalui:
a. Memperkuat dan membangun praktek usaha dan perdagangan yang adil dan sehat, tidak membiarkan terjadinya praktek-praktek monopoli, oligopoli, kartel, dan bentuk-bentuk usaha yang tidak sehat lainnya.
b. Memperkuat perundang-undangan di bidang persaingan usaha yang sehat (Anti Monopoli) sehingga bisa menjamin akses yang sama kepada para pelaku usaha.
c. Penegakan hukum (law enforcement) yang atas peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha yang sehat (Anti Monopoli).
d. Mengkaji ulang seluruh tataniaga dan pemberian hak-hak eksklusif seperti hak distribusi komoditi tertentu yang kontra produktif terhadap perkembangan UMKM.
e. Tidak mengandalkan dan menggantungkan penjualan secara ekspor saja, tetapi juga mengarahkan penjualan produk perikanan ke dalam negeri untuk pencapaian target pemenuhan konsumsi ikan rakyat Indonesia dari 21,7 kg/kapita/tahun (tahun 2000) menjadi 30 kg/kapita/tahun.

4.7 Kebijakan Pengembangan Sektor Perikanan dan Sektor Industri yang Terpadu
Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai hanya sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Namun, lebih dari itu, karena sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional, maka sudah sewajarnya jika sektor perikanan dan kelautan ini dikembangkan menjadi sektor unggulan dalam kancah perdagangan internasional. Dengan demikian, dukungan sektor industri terhadap pembangunan di sektor perikanan dan kelautan menjadi suatu hal yang bersifat keharusan. Karena itu, pembangunan perikanan dan kelautan dan industri bukanlah alternatif yang dipilih, namun adalah komplementer dan saling mendukung bai bagi input maupun output.

Melihat realitas sektor indutri kita yang tidak mendukung sektor pertanian, termasuk resources based Indonesia, maka perlu untuk dilakukannya reformasi komprehensif dan vitalisasi sektor industri untuk memperbaiki berbagai kelemahan struktural seperti yang disebutkan di atas. Hanya dengan cara demikian struktur industri Indonesia akan lebih kuat, memiliki daya saing dan produktifitas yang tinggi sehingga nilai tambah dan kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja meningkat.

Reformasi dan Vitalisasi sektor industri tersebut, termasuk diantaranya restrukturisasi dan konsolidasi sub-sektor, transformasi kepemilikan dan manajemen, serta spin-off industri-industri yang daya saingnya sangat lemah ataupun redundan. Prioritas pengembangan harus diberikan kepada sektor-sektor industri yang terkait erat dengan sumber daya apakah sumber daya alam (pertambangan, kehutanan, pertanian, perikanan, dsb.), maupun sumber daya manusia karena Indonesia sangat kompetitif untuk resources-based industrialization.

Untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas sektor industri Indonesia sangat mendesak adanya rencana strategis untuk mengembangkan industri pendukung (supporting industries) yang menghasilkan barang-barang antara, komponen, dan spare-parts. Tanpa industri pendukung, banyak perusahaan akhirnya akan berpindah ke negara yang memiliki industri pendukung seperti China dan Thailand. Pengembangan industri pendukung harus dikaitkan dengan industri skala menengah dan kecil melalui upaya industrial matching dan sub-contracting dengan pendekatan bisnis. Peningkatan ekspor secara nasional harus didukung dengan promosi yang proaktif dan pembentukan trading house dengan bekerjasama dengan trading house internasional seperti Shogo Shosha dan Eropa.

4.8 Kebijakan di Bidang Birokrasi, Kelembagaan, serta Penanganan Masalah Korupsi
Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan melihat bahwa upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi pemerintahan serta good-governance di sektor perikanan dan kelautan tidak mungkin tercapai tanpa reformasi besar-besaran dalam birokrasi dan lembaga-lembaga perikanan dan kelautan tersebut. Dengan birokrasi yang tidak efektif dan tidak efisien akan sangat sulit untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan melihat bahwa reformasi birokrasi harus mencakup transformasi kultur birokrasi yang feodal menjadi kreatif dan inovatif, restrukturisasi dan perampingan birokrasi, perbaikan sistem kompensasi dan insentif termasuk alokasi anggaran rutin yang lebih proporsional, pelaksanaan sistem punishment, dan perbaikan sistem recruitment. Selain pendekatan konsepsional dan sistem dalam proses reformasi birokrasi, sangat diperlukan serangkaian shock therapy agar reformasi birokrasi dan kelembagaan efektif dan mendapat dukungan dari masyarakat.

Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan juga melihat bahwa kelembagaan peradilan di Indonesia, terutama kelembagaan di bidang penanganan korupsi masih sangat lemah. Padahal, problem kronis negara ini adalah korupsi, dimana peringkat korupsi kita begitu tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan melihat bahwa keberadaan institusi peradilan yang ada saat ini dirasakan tidak memadai untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan dipandang perlu diadakan kelembagaan peradilan yang secara khusus mengurusi masalah penanganan kasus-kasus korupsi.

4.9 Pemeliharaan dan Peningkatan Daya Dukung serta Kualitas Lingkungan
Pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan haruslah membawa manfaat pada masyarakat setempat atau keuntungan tertentu bagi keuangan publik lokal dan nasional serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sehingga senantiasa terjamin kelangsungannya (sustainable).

5. PENUTUP
Sumberdaya laut Indonesia yang begitu besar bila dikelola dengan baik, akan dapat menjadikannya sebagai penyumbang perekonomian negara yang besar, gambaran sektor kelautan dan kehidupan nelayan Indonesia seharusnya tidak seburuk apa yang seperti terjadi saat ini. Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan menjadi kekuatan riil bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Visi kebijakan pembangunan kelautan harus dilandasi oleh semangat rasa syukur kita terhadap Allah SWT atas karunia sumber daya (resources) perikanan dan kelautan yang begitu besar kepada bangsa Indonesia. Sebagai perwujudan rasa syukur atas karunia Ilahi ini, maka perlu menempatkan prioritas pertama pada peningkatan taraf hidup nelayan sebagai pelaku utama pembangunan sektor perikanan dan kelautan.

Tuntutan dikembangkan tata kelola yang baik (good governance) atas perikanan dan kelautan Indonesia di masa mendatang. Dan sebagai perwujudan untuk mengembangkan good governance tersebut, perlu adanya upaya mewujudkan sistem pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia yang direncanakan dan ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan dukungan regulasi, pedoman teknis dan standar operasional kerja yang akomodatif, jelas dan kondusif, bebas dari praktek spekulatif, serta menempatkan para pengelola ekonomi yang amanah, jujur, dan kompenten.

Pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia perlu dikembangkan dengan pendekatan bersifat kelembagaan yang holistik dan komprehensif. Ini berarti tujuan dan nilai-nilai dasar operasional dari kegiatan-kegiatan pembangunan bertumpu pada manusia termasuk nilai-nilai moral yang dianut. Semua kelembagaan pembangunan Indonesia yang bergerak di semua sektor dan daerah perlu melaksanakan transformasi diri secepat mungkin sehingga mampu mengemban tugas membawa seluruh bangsa ke suatu trayektori perkembangan yang akan menyelesaikan masalah struktural seperti korupsi, pengangguran, dan kemiskinan; dan sekaligus menempatkan bangsa ini ke suatu posisi yang penuh daya saing, bermartabat, dan kuat secara moral, ekonomi dan sosial. Ini berarti, transformasi itu secara horisontal perlu menyeluruh; tidak bisa menyangkut hanya satu atau beberapa bidang saja seperti ekonomi saja, atau hukum saja, politik saja, atau hukum dan ekonomi saja. Adapun kebijakan yang direkomendasikan berdasarkan rumusan di atas adalah:
1) Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Indonesia
2) Menyusun Undang-Undang Perlindungan Petani dan Nelayan
3) Penguatan Kelembagaan Nelayan di Tingkat Lokal sampai Nasional
4) Pelaksanaan Desentralisasi Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan
5) Kebijakan Permodalan bagi Sektor Perikanan dan Kelautan, Urgensi Pendirian Bank Petani dan Nelayan
6) Penataan Struktur Pasar dan Lingkungan Usaha
7) Kebijakan Pengembangan Sektor Perikanan dan Sektor Industri yang Terpadu
8) Kebijakan di Bidang Birokrasi, Kelembagaan, serta Penanganan Masalah Korupsi
9) Pemeliharaan dan Peningkatan Daya Dukung serta Kualitas Lingkungan

______________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA


Akhmadi, D. 2004. Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Pasca Pemilu 2004 (Makalah Seminar Prospek Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu di Balairung UI).

BAPEDALDA RIAU. PPLH UNRI. 2004. Laporan Studi Identifikasi Potensi Kawasan Pesisir dan Laut di Provinsi Riau.

CIFOR. 2002. Peran Sera Masyarakat dalam Penataan Ruang (Warta Kebijakan No. 6. Agustus 2002).

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat. LISPI. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004. Laporan Tahunan.

DFID (Department for International Development). 2000. Sustainable Livelyhoods. DFID. UK.

DPP Partai Keadilan Sejahtera. 2004. Laporan Tahun 1425 H Divisi Nelayan, Departemen Buruh Tani Nelayan. Bidang Ekonomi DPP Partai Keadilan Sejahtera.

. 2004. Platform Pembangunan Kelautan dan Perikanan Partai Keadilan Sejahtera (disampaikan pada Bedah Visi Parpol Peserta Pemilu). Dewan Maritim RI.

Elfindri. 2002. Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial di Kalangan Nelayan (Makalah).

Indra. 2002. Konsep Tata Ruang Terpadu Darat dan Laut (Makalah Falsafah Sains PSL IPB)

Siregar, H. Hedi. 2005. Catatan Kuliah Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

WALHI. 2004. Advokasi Pesisir dan Laut. http://www.walhi.org.


[1] Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan RI Tahun 2004
[2] Dikutip dari Supriharyono dalam buku “Pelestariaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.” Gramedia Pustaka Utama.
[3] Dikutip dari Makalah Didik Akhmadi, M Com berjudul “Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Pasca Pemilu 2004” yang disampaikan pada acara Seminar Prospek Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 2004 di Balairung UI
[4] Dikutip dari Makalah Elfindri berjudul “Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial di Kalangan Nelayan”.
[5] Laporan Tahun 1425 H Divisi Nelayan, Departemen Buruh Tani Nelayan, Bidang Ekonomi DPP Partai Keadilan Sejahtera.
[6] Dikutip dari “Platform Pembangunan Kelautan dan Perikanan Partai Keadilan Sejahtera” yang disampaikan pada Bedah Visi Parpol Peserta Pemilu yang diselenggarakan oleh Dewan Maritim RI Tahun 2004
[7] Dikutip dari “Advokasi Pesisir dan Laut” WALHI.
[8] Sumber: Laporan Studi Identifikasi Potensi Kawasan Pesisir dan Laut di Provinsi Riau Tahun 2004
[9] Dikutip dari Buku “Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat” (Kumpulan Pemikiran Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri M S)