Translate

Sabtu, Desember 31, 2011

DEGRADASI CITARUM DAN ANCAMAN PENURUNAN KUALITAS KEHIDUPAN DI JAWA BARAT

Oleh:
Tonny Firman Kurniawan
Iqbal Febriano
Ahmad Heryawan


Sungai Citarum selain merupakan sungai terbesar dan terpanjang di wilayah Jawa Barat, juga merupakan sungai terpenting bagi kehidupan masyarakat wilayah tersebut. Sebuah studi Bank Dunia menyebutkan sekitar 28 juta orang di Jawa Barat secara langsung tergantung pada sungai ini. Wilayah-wilayah pertanian di Purwakarta, Cikampek, Karawang sebagian besarnya masih memanfaatkan aliran sungai Citarum untuk mengairi areal persawahan. Selain itu sungai ini juga menjadi sumber air minum bagi wilayah Bandung, Cimahi, Purwakarta, Karawang, Bekasi, bahkan DKI Jakarta. Tiga waduk (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) dan sekitar 500 pabrik yang berdiri di sepanjang DAS Citarum merupakan sebuah cerminan tingginya nilai ekonomi sungai Citarum.

Sebagaimana dengan kawasan lain yang memiliki sifat open access, Citarum pun tidak luput dari perilaku free rider. Sungai yang bersih dan indah merupakan dambaan setiap orang, namun hanya sedikit orang yang peduli untuk menjaga kebersihan dan keindahan sungai. Perilaku ini muncul umumnya karena anggapan bahwa sumberdaya air merupakan sesuatu yang gratis. Sebuah penelitian yang dilakukan BPLHD Jawa Barat menyebutkan bahwa 70 % pencemaran Citarum berasal dari limbah rumah tangga, 16 % dari Industri, 2% dari pertanian dan sisanya (12%) berasal dari peternakan.

Meskipun industri hanya menyumbang 16% volume limbah yang mencemari Citarum, kadar (kualitas) pencemarannya tergolong berat, sehingga air Citarum sekarang sudah masuk kategori IV (sangat tidak layak minum) akibat tingginya kadar logam berat seperti timbal, seng dan tembaga. Tingginya limbah buangan yang mencemari Citarum merupakan bentuk ekternalitas negative dari aktivitas ekonomi di sepanjang DAS Citarum. Eksternalitas merupakan bentuk kegagalan pasar (market failure) yang paling umum ditemukan pada kawasan akses terbuka seperti DAS Citarum. Ketidakjelasan property right DAS Citarum menyebabkan jumlah polusi yang dihasilkan melebihi jumlah optimum.

Pencemaran Citarum dalam jumlah yang melebihi carrying capacity nya dapat ditelusur hingga ke tahun 1986, ketika industri-industri mulai tumbuh di sepanjang DAS Citarum. Pada tahun tersebut, mazhab developmentalisme masih kental mewarnai kebijakan pembangunan di Indonesia. Dengan menempatkan manusia sebagai sentral dan alam beserta sumberdayanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas, pembangunan di Indonesia pada masa itu hanya bertujuan untuk mengejar nilai PDB yang menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan pembangunan.

Penempatan alam sebagai obyek sebagai ciri anthropocentrisme dalam paradigma pembangunan bukan merupakan satu-satunya faktor yang berperan mengubah pembangunan menjadi bencana lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga turut memberikan tekanan kepada Citarum. Perkembangan permukiman di sepanjang DAS Citarum yang seringkali tanpa perencanaan telah berhasil menjadikan Citarum sebagai tempat sampah terpanjang dan terbesar di dunia.

Pada sektor industri, ketiadaan keunggulan kompetitif dari industri di Indonesia menjadikan industri di Indonesia mencari faktor-faktor produksi yang murah untuk mendapatkan keunggulan komparatif. Akibatnya, kawasan industri terutama pabrik bermunculan di sepanjang sungai, termasuk DAS Citarum, agar industri bisa mendapatkan bahan baku air dengan murah bahkan gratis.Pemanfaatan sungai oleh industri tidak hanya terbatas pada penggunaan sebagai sumber air. Demi menekan biaya produksi, hampir semua industri memanfaatkan jasa lingkungan sungai untuk mengurai limbah yang mereka hasilkan.

Perilaku rumah tangga maupun industri yang menggunakan sungai Citarum melebihi kapasitasnya merupakan tindakan rasional dari pelaku ekonomi (rumah tangga dan industri) yang air sebagai komoditas gratis dan tidak mungkin habis. Pemikiran tersebut, di tambah dengan sifat DAS Citarum sebagai kawasan terbuka (open access) pada akhirnya memunculkan fenomena race to the bottom yang berujung pada tragedy of the common.

Tragedi lingkungan Citarum saat ini cukup terwakili oleh sebuah frasa yang bisa menggambarkan tragedi pengelolaan sumber daya air di sebagian besar Pulau Jawa, musim kemarau kekeringan musim hujan kebanjiran. Aktivitas ekonomi wilayah hulu sungai telah menghasilkan limbah buangan yang menyebabkan pendangkalan sungai di wilayah hilir. Pendangkalan ini selain menyebabkan banjir pada wilayah hilir juga telah menurunkan kinerja bahkan merusak PLTA yang berada di DAS Citarum. Ratusan ribu hektar sawah yang irigasinya bergantung pada Citarum mengalami kekeringan saat musim kemarau dan meskipun pada musim penghujan bisa mendapatkan air namun seringkali air tersebut sudah tercemar sehingga merusak areal persawahan. Jutaan rumah tangga sepanjang DAS Citarum acapkali menghadapi tantangan kesulitan air saat kemarau dan harus mengungsi karena banjir saat musim penghujan.

Kerugian ekonomi akibat degradasi Citarum dapat dibedakan menjadi kerugian tangible dan intangible. Kerugian tangible antara lain : kerusakan areal sawah, kerusakan rumah karena banjir, penurunan land rent penurunan output PLTA, dan sebagainya. Sedangkan kerugian intangible antara lain : waktu sekolah yang berkurang akibat banjir.

Keadaan ini tentu harus diatasi demi mengembalikan fungsi Citarum dan mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan. Upaya penyelesaian perlu diagendakan mulai dari kawasan hulu hingga hilir dengan pendekatan sosial, ekonomi, maupun teknologi. Pada kawasan hulu, permasalahan utamanya adalah erosi akibat hilangnya hutan dan limbah kotoran ternak yang menyebabkan sedimentasi pada wilayah-wilayah hilir. Sedangkan pada kawasan hilir, selain sedimentasi akibat erosi di hulu, pencemaran dari limbah rumah tangga dan industri adalah sumber permasalahan utama.
Pada kawasan hulu, upaya penyelesaian bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen ekonomi maupun teknologi. Instrumen ekonomi yang bisa digunakan antara lain adalah subsidi atau pembayaran jasa lingkungan kepada penduduk kawasan hulu agar mau menanam tanaman keras yang bisa mencegah erosi. Selain itu juga bisa diupayakan pengalihan property right dengan cara membeli lahan pada kawasan hulu Citarum dan mengubahnya menjadi kawasan hutan lindung (restricted area). Pendekatan teknologi terutama bisa diimplementasikan untuk usaha peternakan hewan (sapi) di wilayah hulu, dengan memperkenalkan teknologi pengolahan kotoran ternak menjadi biogas atau pupuk kandang. Dengan teknologi tersebut diharapkan usaha peternakan di kawasan hulu bisa mengendalikan eksternalitasnya hingga mencapai kondisi social optimum.
Pada kawasan hilir, upaya penyelesaian bisa dilakukan dengan memanfaatkan instrumen ekonomi, sosial, dan teknologi. Instrumen ekonomi yang bisa digunakan antara lain : market creation, financial instruments, fiscal instruments, charge systems, ataupun bonds & deposit refund system. Mekanisme market creation bisa dilakukan dengan menerapkan kuota atas limbah yang dihasilkan industri. Instrumen fiskal yang bisa digunakan antara lain dengan menerapkan pajak lingkungan atau potongan pajak bagi industri yang melakukan pengolahan limbah, instrumen ini bisa digabung dengan instrumen finansial berupa insentif bagi industri yang mau merelokasi usahanya menjauhi DAS Citarum. Charge systems bisa diterapkan untuk memberi penalti bagi industri yang enggan mengolah limpahnya. Skema bonds & deposit refund system bisa diterapkan baik kepada rumah tangga maupun industri. Untuk rumah tangga, model refund bisa diterapkan untuk rumah tangga yang bersedia mengumpulkan sampah dan memberikannya kepada produsen untuk diolah kembali. Model deposit bisa diterapkan untuk diterapkan kepada industri yang akan membangun industrinya di DAS Citarum.
Pendekatan sosial untuk rumah tangga di kawasan DAS Citarum dilakukan dengan misalnya memasukan muatan lingkungan dalam kurikulum pendidikan, ceramah agama, dan lain-lain. Cara lain adalah dengan mengubah arah rumah di sepanjang DAS Citarum menjadi menghadap sungai Citarum. Pendekatan sosial lainnya adalah dengan membentuk paguyuban warga yang meningkatkan kesadaran llingkungan.
Upaya penyelesaian permasalahan Citarum seringkali terkendala oleh banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS CItarum. Banyaknya instansi ini menyebabkan tidak adanya prioritas dalam penanganan DAS Citarum karena masing-masing instansi bekerja berdasar batasan lingkup kewenangannya masing-masing. Permasalahan lain adalah seringkali solusi yang social optimum tidak serta merta cost effective. Instrumen fiskal, finansial ataupun skema charges seringkali membutuhkan biaya administrasi dan birokrasi yang besar untuk pengawasan.


----------------------------

Kamis, November 17, 2011

Ekonomi Regional dan Kinerja Spasial



Oleh: Tonny F. Kurniawan

Tujuan utama pembangunan ekonomi suatu wilayah adalah menciptakan kemakmuran masyarakat. Beberapa parameter yang biasa digunakan untuk mengukur pembangunan adalah peningkatan pendapatan, peningkatan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan masyarakat. Belajar dari kegagalan orde lama, sejak awal tahun 1970 pertumbuhan perekonomian suatu wilayah pada masa orde baru menerapkan planned economy dengan pola Growth First then Distribution of Wealth. Planned economy yang dianut Indonesia merujuk pada pertumbuhan perekonomian Rostow, dimana kemajuan perekonomian suatu masyarakat berjalan melalui beberapa tahapan pembangunan. Pembangunan jangka panjang juga dimasyarakatkan dengan nama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), program ini menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari indikator makro ekonomi, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, kestabilan nilai tukar rupiah, rendahnya tingkat pengangguran dan perbaikan sarana perekonomian. Tahapan model pembangunan Rostow tampak jelas pada tahapan-tahapan pelita di Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I).

Menurut Rostow tahap lanjut dari perkembangan ekonomi adalah sektor industri bahan baku, industri manufaktur, hingga paling akhir pada sektor jasa. Kebanyakan para pengambil kebijakan termasuk juga kelompok ekonom dominan menelan saja teori pembangunan Rostow dengan melakukan by pass, yaitu sengaja meninggalkan pertanian dan langsung menuju sektor industri bahkan juga jasa. Sektor pertanian tidak lagi dianggap memberi kontribusi besar pada peningkatan produk nasional bruto (GNP) atau pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar pemikiran Rostow itu memang diterapkan dalam konsep pembangunan Orde Baru, terutama yang mementingkan pengadaan barang-barang konsumen lebih dari mencukupi.

Meskipun pertumbuhan ekonomi masa orde baru cukup tinggi, namun angka kemiskinan masih tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, ternyata hanya dinikmati golongan masarakat tertentu saja. Pembangunan ekonomi model Growth First then Distribution of Wealth ternyata menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat. Dengan berakhirnya PJPT I (1969/1970-1973/1974), diharapkan Indonesia sudah mencapai tahap take-off, namun kondisi empirik menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil pembangunan ekonomi tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat, sehingga perekonomian menjadi rapuh. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde baru adalah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.

Model pertumbuhan ekonomi yang cenderung mengikuti Rostow masih dirasakan sampai sekarang. Pertumbuhan ekonomi dan kondisi ekonomi makro nasional selama lima tahun terakhir masih dimotori oleh sektor konsumsi. Namun kondisi yang demikian belum dibarengi dengan pertumbuhan sektor-sektor produktif. Berbeda halnya dengan fenomena yang berkembang di negara-negara maju, kenaikan konsumsi masyarakat senantiasa direspon oleh perusahaan-perusahaan dengan berbagai aktivitas produksi. Perbedaan fenomena tersebut disebabkan karena peran sektor industri dan investasi di dalam negeri belum berkembang signifikan.

Dalam teori ekonomi pembangunan, peran lembaga keuangan dianggap sebagai salah satu insentif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui investasi. Sehingga diperlukan peran lembaga keuangan yang dapat memberikan kredit untuk memicu tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak sosial ekonomi dari suatu usaha atau kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sehingga kredit dan konsumsi memiliki keterkaitan hubungan yang dapat menentukan produktifitas dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.

Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, perkantoran, pabrik, pertanian, pertambangan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain tidaklah asal saja atau secara acak berada di lokasi tersebut, namun menunjukkan pola, susunan, atau mekanisme yang dapat diselidiki dan dipelajari. Setiap wilayah memiliki daya dukung atau sumberdaya yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain, sehingga terjadi interaksi ekonomi lintas wilayah didasarkan atas keperluan pemenuhan kebutuhan. Perekonomian lintas wilayah akan membawa pengaruh pada pola konsumsi dan belanja rumah tangga masyarakat yang akan mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan wilayah adalah adanya keterkaitan lintas sektor, sebab setiap kegiatan di suatu sektor selalu menggunakan input dari sektor yang lain.

Kemampuan suatu wilayah mengelola sumberdaya yang dimiliki akan menentukan laju pertumbuhan ekonomi, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Otonomi daerah, dapat dianggap tantangan, tapi bisa dilihat pula sebagai peluang, karena dengan pendekatan yang berbasis daerah, berharap permasalahan pembangunan wilayah dapat didekati secara lebih riil, ada variasi potensi antar daerah. Dalam era otonomi daerah banyak pemerintah kota/kabupaten yang tidak punya pegangan dalam mengelola ekonomi daerahnya. Otonomi daerah akan cenderung disambut dengan mengeksploitasi sumberdaya alam, menjual aset daerah, memberlakukan berbagai pajak dan retribusi yang seringkali tidak rasional, yang justru menyebabkan investor enggan masuk. Tanpa ada visi tentang bagaimana mengelola kota/kabupaten sebagai unit ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah perlu menganalisis suatu wilayah atau bagian wilayah secara keseluruhan atau melihat wilayah dengan berbagai potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang akan diterapkan di wilayah tersebut.

Suatu kegiatan perekonomian di suatu wilayah akan mempunyai suatu pengaruh terhadap kegiatan lainnya, sebab kegiatan perekonomian satu dengan yang lainnya merupakan rangkaian sistemik yang saling mempengaruhi dan membutuhkan. Kegiatan ekonomi tersebut akan memiliki nilai pengganda yang tinggi apabila mampu menggerakkan semakin besar potensi daerah dalam pemenuhan kebutuhan aktivitasnya. Kebutuhan itu dapat berupa tenaga kerja, barang mentah atau barang setengah jadi, peralatan, dan lain-lain. Kegagalan melibatkan keterkaitan antar wilayah dan kegagalan menggerakkan potensi yang dimiliki suatu wilayah dalam aktivitas kegiatan perekonomian akan mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan di suatu wilayah.

Sabtu, April 16, 2011

Dutch Disease



Policymakers’ Guide to Dutch Disease
Oleh: Tonny F. Kurniawan, Ahmad Heryawan, Iqbal Febriano

What is Dutch Disease?
Title of article in The Economist in 1977, Reduction in a country’s export performance as a result of an appreciation of the exchange rate.
Exchange Rate Nominal : foreign currency vs domestic curreny Real : relative prices between goods (measured in local currency), also referred as terms of trade
Effects of aid Shift of production from exports Shift of production from import subtitutes Additional imports The first two are called “tradables” and together known as Dutch Disease

Effects of Aid Triggered Dutch Disease?
(short-run) Output = Tradables + Non-tradables Effects of Aid Tradables ↓ Non-tradables ↑ Results : No change in output, only in composition Transitional costs Appreciation of non-tradables real exchange rates against tradables > increase of total output in real terms

Effects of Aid Triggered Dutch Disease?
(long-run) GDP = C + G + I + (X-M) Effects of aid (X-M) ↓ C ↑ G ↑ I ↑ Net results : GDP ↑ Distributional effect There will be winners and losers Winners : producers and workers of non-tradables sectors Losers : producers and workers of tradables sectors

What if Aid is not Sustainable ?
1. When aid stops > structure of output shifts back > transitional costs
2. Decrease of exports Benefits of aid not sufficient enough to cover (1) & (2) > long-term profitability ↓

How to Cope ? (recipients’ actions)
Use the aid to build up foreign exchange reserves Use the aid for an import which (a) the country would not have imported otherwise and (b) does not substitute for locally produced goods Spend the aid in ways that has unambiguously large, short term benefits to productivity of exporters

How Should Donors Respond ?
Aid should be more stable Aid should be more predictable Recipient governments should be given discretion to use aid flexibly It is important to direct some aid towards activities that will enhance long-term economic productivity Dutch disease should not be represented as a limitation the amount of sustained aid that can be given to developing countries